17 Juli 2010
Selamat hari lahir ke-42, ayah/bapak/tetta/papah/dan semua panggilan untukmu…
”Asslm.. selamat ulang tahun, p’!! Smoga tmbah shat slalu, bisa kurangi merokok.. Slalu ingat Allah.. Dan slalu sayang eka&kiky.. Amin.. ^^”
Itu pesan singkat yang kukirimkan di menit ketujuh detik ke lima puluh dua hari lahirmu. Angka 42 terbentang luas di depan matamu, p’!! Bisa kukatakan, kau sudah tua. Tiga kata terakhir itu kalimat yang dibenci olehmu, tapi sayang harus kuucapkan. 42 tahu fisikmu berkelana di bumi. 19 tahun lebih di antaranya ada saya disana. Tak sepenuhnya dijalani bersamaku, memang. Tapi, cukuplah membuatku sangat sayang padamu.
Tujuh tahun terakhir hubungan kita tidak seindah dulu. Bahkan ada dua tahun sebelumnya dimana jarak turut memisahkan kita. Dan, setahun sebelumnya, dengan satuan yang sama dengan usiamu kini, sekian-dua tahun, tiga puluh dua tahun masih sempat kita jalani bersama, lumayan bahagia.
Hari itu, aku, kakak, dan ibuku membuat sedikit kejutan untukmu. Seingatku, kau sudah menjadi dosen saat itu. Dan, sudah tidak mengonsumsi rokok dengan merk yang sama saat kau masih sangat muda. Entah karena mengingat usiamu saat itu atau karena apa. Hari itu, di sebuah kertas A4 hasil curian salah satu persediaanmu, kami tempelkan koin Rp 25,- dan membentuk angka 32. Juga menempelkan sekotak kecil rokok untukmu di kertas yang sama, di samping koin-koin itu. Kertas itu kami tempelkan pada dinding kamar-mu. Yang lalu kami perlihatkan padamu sepulangmu dari kampus tempatmu berkantor.
Sudah lupa suasana haru saat itu. Yang kuingat, kami begitu bersemangat menyiapkannya untukmu. Hal yang sangat sederhana. Yang mungkin akan terlupakan, tapi entah mengapa membuat kami begitu bersemangat demi membuktikan bahwa kami mengingat hari lahirmu, kami sayang padamu. Meski mungkin itu sama sekali tak penting bagimu.
Beberapa tahun berikutnya, entah hari ulang tahunmu yang keberapa. Saat itu, keluarga kita sedang rajin mendengarkan radio di pagi hari. Mendengar salah satu stasiun radio keluarga yang menyiarkan program dimana kita bisa mengucapkan ‘selamat’ pada hari penting orang yang kita sayangi.
Kuberanikan diri menelepon radio tersebut pagi itu. Sempat khawatir kau takkan mendengarnya saat sang penyiar menyampaikannya sebab kau sedang sibuk menyiapkan diri untuk ke kantor saat itu. Tapi, keberuntungan masih berpihak padaku. Sang penyiar menyampaikannya tepat saat kau sedang melintas di dekat perangkat computer yang kita gunakan untuk mendengar siaran tersebut. Kau tak berkata apapun tentang itu. Tapi, kau menyempatkan diri membeli beberapa makanan sepulangmu dari kantor. Ucapan terimakasihmu sekaligus perayaan kita.
Tahun berlanjut. Jarak memisahkan kita. Begitu juga dengan lingkungan sosial. Kau tak lagi di dekatku. Tak bisa mendengar ucapanku secara langsung. Tak bisa menikmati kejutan kecil dariku atau dari kakakku.
Bersama keluarga barumu yang mungkin menyiapkan kejutan yang berbeda untukmu. Kau jauh dan seolah tak ada lagi di lingkungan yang semakin memaksaku untuk mendewasakan diri. Mungkin, kau lebih dibutuhkan disana, sehingga hadirmu disini tak lagi kau pentingkan.
Kau ada tapi tak senyata dulu. Aku layaknya seorang putri yang tak bisa lagi merasakan usapan hangat tanganmu di kepalaku. Serta tangan kuat yang dulu slalu ada untuk menjadi target pukulan kepalan tanganku saat emosi menguasai jiwa. Sayang, aku mengenalimu dari dekat saat usiaku masih sangat dini. Saat ingatanku tak sepeka sekarang.
Andai bisa berbagi pikiran denganmu. Atau mungkin, berbagi tulisan. Bakat terbaik yang kau turunkan padaku. Sayang, kau tak pernah tahu aku bisa menulis. Memang tak seindah puisi-puisimu, atau sekritis pikiranmu.
Merindukanmu selalu, meski takkan pernah bisa menyampaikannya. Dan hanya bisa kuobati dengan bertemu denganmu. Meski dengan berpura-pura sakit agar kau bersedia mengantar atau menjemputmu. Maaf, jika masalah ekonomi kadang menjadi perbandingan sayangmu dan sayang ibuku. Asal kau tahu, aku hanya ingin kau membuktikan bahwa kau masih peduli pada putri kecilmu, putri bungsumu yang sudah kehilangan status kebungsuannya sejak putra pertama pada keluarga barumu, lima tahun lalu, mulai mengaburkan pentingnya aku bagimu.
Sangat sayang padamu, p’!! :’(
Selamat hari lahir ke-42, ayah/bapak/tetta/papah/dan semua panggilan untukmu…
”Asslm.. selamat ulang tahun, p’!! Smoga tmbah shat slalu, bisa kurangi merokok.. Slalu ingat Allah.. Dan slalu sayang eka&kiky.. Amin.. ^^”
Itu pesan singkat yang kukirimkan di menit ketujuh detik ke lima puluh dua hari lahirmu. Angka 42 terbentang luas di depan matamu, p’!! Bisa kukatakan, kau sudah tua. Tiga kata terakhir itu kalimat yang dibenci olehmu, tapi sayang harus kuucapkan. 42 tahu fisikmu berkelana di bumi. 19 tahun lebih di antaranya ada saya disana. Tak sepenuhnya dijalani bersamaku, memang. Tapi, cukuplah membuatku sangat sayang padamu.
Tujuh tahun terakhir hubungan kita tidak seindah dulu. Bahkan ada dua tahun sebelumnya dimana jarak turut memisahkan kita. Dan, setahun sebelumnya, dengan satuan yang sama dengan usiamu kini, sekian-dua tahun, tiga puluh dua tahun masih sempat kita jalani bersama, lumayan bahagia.
Hari itu, aku, kakak, dan ibuku membuat sedikit kejutan untukmu. Seingatku, kau sudah menjadi dosen saat itu. Dan, sudah tidak mengonsumsi rokok dengan merk yang sama saat kau masih sangat muda. Entah karena mengingat usiamu saat itu atau karena apa. Hari itu, di sebuah kertas A4 hasil curian salah satu persediaanmu, kami tempelkan koin Rp 25,- dan membentuk angka 32. Juga menempelkan sekotak kecil rokok untukmu di kertas yang sama, di samping koin-koin itu. Kertas itu kami tempelkan pada dinding kamar-mu. Yang lalu kami perlihatkan padamu sepulangmu dari kampus tempatmu berkantor.
Sudah lupa suasana haru saat itu. Yang kuingat, kami begitu bersemangat menyiapkannya untukmu. Hal yang sangat sederhana. Yang mungkin akan terlupakan, tapi entah mengapa membuat kami begitu bersemangat demi membuktikan bahwa kami mengingat hari lahirmu, kami sayang padamu. Meski mungkin itu sama sekali tak penting bagimu.
Beberapa tahun berikutnya, entah hari ulang tahunmu yang keberapa. Saat itu, keluarga kita sedang rajin mendengarkan radio di pagi hari. Mendengar salah satu stasiun radio keluarga yang menyiarkan program dimana kita bisa mengucapkan ‘selamat’ pada hari penting orang yang kita sayangi.
Kuberanikan diri menelepon radio tersebut pagi itu. Sempat khawatir kau takkan mendengarnya saat sang penyiar menyampaikannya sebab kau sedang sibuk menyiapkan diri untuk ke kantor saat itu. Tapi, keberuntungan masih berpihak padaku. Sang penyiar menyampaikannya tepat saat kau sedang melintas di dekat perangkat computer yang kita gunakan untuk mendengar siaran tersebut. Kau tak berkata apapun tentang itu. Tapi, kau menyempatkan diri membeli beberapa makanan sepulangmu dari kantor. Ucapan terimakasihmu sekaligus perayaan kita.
Tahun berlanjut. Jarak memisahkan kita. Begitu juga dengan lingkungan sosial. Kau tak lagi di dekatku. Tak bisa mendengar ucapanku secara langsung. Tak bisa menikmati kejutan kecil dariku atau dari kakakku.
Bersama keluarga barumu yang mungkin menyiapkan kejutan yang berbeda untukmu. Kau jauh dan seolah tak ada lagi di lingkungan yang semakin memaksaku untuk mendewasakan diri. Mungkin, kau lebih dibutuhkan disana, sehingga hadirmu disini tak lagi kau pentingkan.
Kau ada tapi tak senyata dulu. Aku layaknya seorang putri yang tak bisa lagi merasakan usapan hangat tanganmu di kepalaku. Serta tangan kuat yang dulu slalu ada untuk menjadi target pukulan kepalan tanganku saat emosi menguasai jiwa. Sayang, aku mengenalimu dari dekat saat usiaku masih sangat dini. Saat ingatanku tak sepeka sekarang.
Andai bisa berbagi pikiran denganmu. Atau mungkin, berbagi tulisan. Bakat terbaik yang kau turunkan padaku. Sayang, kau tak pernah tahu aku bisa menulis. Memang tak seindah puisi-puisimu, atau sekritis pikiranmu.
Merindukanmu selalu, meski takkan pernah bisa menyampaikannya. Dan hanya bisa kuobati dengan bertemu denganmu. Meski dengan berpura-pura sakit agar kau bersedia mengantar atau menjemputmu. Maaf, jika masalah ekonomi kadang menjadi perbandingan sayangmu dan sayang ibuku. Asal kau tahu, aku hanya ingin kau membuktikan bahwa kau masih peduli pada putri kecilmu, putri bungsumu yang sudah kehilangan status kebungsuannya sejak putra pertama pada keluarga barumu, lima tahun lalu, mulai mengaburkan pentingnya aku bagimu.
Sangat sayang padamu, p’!! :’(
Terharuku baca ini, karena sampai sekarang sy tidak pernah bisa melakukan seperti yang kau dan keluargamu buat dengan menyusun uang koin itu.
BalasHapusMencoba mengerti arti hadirmu...setidaknya audi pernah bilang begitu, dan saya yakin setiap Ayah menyimpan perasaan spesial pada SETIAP dan SELURUH anggota keluarganya dengan caranya sendiri.
Yayayaaaa.. semoga..
BalasHapusterimakasih sdah bisa terharu, kak.. hhe