Ini tulisan tentangnya. Tentang wanita hebat yang menguatkan setiap langkahku yang rapuh. Mungkin tak banyak yang pernah kutulis tentangnya. Kebanyakan, menulis tentang mantan pasangan hidupnya. Aku terlalu merindukan sosok mantannya itu, hingga lupa sosoknya yang lebih penting dari pria itu.
Pernah aku menanyakan ini pada teman-teman sewaktu kecil dulu...
"Lebih sayang mana, ayah atau ibu?"
Kebanyakan dari mereka menjawab,
"Sama saja. Tak ingin membeda-bedakan mereka."
Saya bisa saja dengan tegas menjawab, "Ibu!!"
Saya lebih dekat dengan beliau ketimbang ayahku, mungkin alasannya saat itu. Itupun sebelum ayahku harus pergi jauh untuk menuntaskan sekolahnya, selama dua tahun di ujung timur pulau Jawa sana.
Sepulang ayah sekolah, jawabanku berubah... "Ayah!!"
Itu karena ibuku dikirim bertugas di sebuah pulau (dan sekarang pun masih). Sampai akhirnya dari bangun sampai tidur lagi yang kulihat hanyalah ayah. Ayah ke kantor, saya bangunkan. Sepulang kantor menyiapkan minumannya tanpa disuruh. Juga mempersiapkan tempat tidurnya.
Sesekali melihat ibu jika beliau pulang di akhir Minggu, untuk menginap barang dua hari. Itu... beberapa tahun yang lalu. Waktu berubah. Hidup kami berubah. Ibu seolah menjadi orang tua tunggal yang membesarkanku. Sesekali bertemu ayah di awal bulan, kadang bisa sampai tiga kali sebulan.
Pernah saat separuh dari bangunan kokoh rumah kami sekarang, masih berupa susunan bata tak berbentuk... saya, kakak, serta beliau (ibuku) terdiam mengendalikan perasaan masing-masing. Dalam diam, kami saling bertatapan, kami akan memulai hidup kami yang baru. Tanpa pria yang akan melindungi kami di sepanjang waktunya.
Kami bertiga akan saling menguatkan. Sampai hari ini itu yang membuat saya bertahan. Saya terlalu durhaka untuk membuat kekuatannya melemah. Usia empat puluh satu tahun memang sungguh melemahkannya. Tapi, beliau masih punya semangat untuk menghidupi dua putri, ibu, nenek, dan seorang kakaknya. Beliau masih sanggup hidup di tengah keterbatasan teknologi di tempat tinggalnya disana. Hidup menyeberangi pulau demi hidup yang lebih baik bagi keluarganya.
Kadang penyakit datang, seolah menegur fisiknya yang menua. Ingin memintanya berhenti bekerja dan beristirahat. Tapi, aku belum cukup berbakti untuk sanggup mengambil alih tugasnya sebagai tulang punggung keluarga kami. Aku terlalu lemah untu bisa sepertinya. Terlalu rapuh untuk bisa sekedar berdiri, mengambil perannya, dan memintanya menjaga diri saja.
Pernah saat saya dan kakak ke pulau mengunjungi tempatnya disana. Di perjalanan, ombak besar menerjang kapal kami. Kapal kami agak oleng. Sulit membuat kakak saya yang penakut itu untuk percaya bahwa keadaan baik-baik saja. Sedang dalam hati saya sudah sangat ketakutan dan terus mengucap basmalah sekedar menenangkan hati. Entah kenapa, basmalah selalu efektif untuk membuat kapal tersebut (rasanya) berlayar dengan tenang.
Tapi, belum cukup membuat ketegangan berakhir disitu saja. Pikiran lain hadir meredakan ketegangan, ibuku setiap minggunya pergi-pulang dengan kapal yang sama, dengan cuaca yang mungkin lebih buruk dari saat itu. Tuhan masih bersama ibuku dan melindunginya. Memberi keberanian sebab ada keluarga yang menunggunya di rumah. Apa saya sebegitu tidak berbaktinya hingga tidak ingin 'mencoba merasakan' sedikit dari jutaan pengorbanan ibuku??
Sejak kecil, beliau sudah mengerti tentang kerasnya kehidupan yang mengintai setiap detik waktunya. Beliau pernah kaya harta, lalu jatuh... sampai air asam dan terasi menjadi teman setia nasi yang menjadi makanannya. Beliau pernah berbagi susu pembagian sekolahnya, kepada adik bungsunya. Baginya, lebih baik adiknya yang merasakan minuman mahal (saat itu) dari pada dirinya. Sedang saat itu, makanan bergizi jauh dari jangkaunya.
Beliau pernah hidup dalam segala keterbatasan. Dimana harapan memiliki suatu barang hanya sekedar harapan. Dimana keinginan menikmati sesuatu hanya sekedar keinginan. Sebab itulah, beliau selalu menuruti/mengabulkan semua keinginan putrinya. Sekalipun hanya sekedar janji yang entah kapan akan ditepati. Sekalipun beliau harus memaksa tubuhnya bekerja lebih keras lagi. Beliau tidak ingin harapan atau keinginan anaknya hanya sampai disitu. Beliau tak ingin putrinya merasakan hal yang sama dengannya, menyerah pada keterbatasan.
Sebab itu beliau menyediakan ini-itu untuk putrinya. Memberi ini-itu yang seolah tanpa batas. Mengiyakan ini-itu sebab tak ingin mengecewakan putrinya. Dan, putrinya, anak yang tak tahu arti kerja keras memanfaatkan peluang yang ada. Meminta ini-itu seenaknya tanpa kasihan pada raga ibunya yang kian menua tapi tetap berjiwa muda itu.
Saya mungkin takkan bisa sehebat beliau. Tapi, dari semangat hidup yang ditularkannya, saya bisa belajar... takkan menyerah pada ujian hidup. Sekalipun mungkin pengkhianatan silih berganti datang. Sekalipun mungkin pengkhianatan itu datang dari orang yang sangat dikasihi. Saya masih bisa hidup!!
Maaf jika saya belum bisa membahagiakanmu, hanya sanggup menyusahkanmu. Hanya bisa membebanimu dengan segala tingkahku. Hanya sanggup memintamu memenuhi inginku. Maaf, bunda/ibu/mami/mamah/mamak/male'/dan segala panggilan untuk orang tua perempuan yang hanya akan kusebut untukmu, dan kusisakan untuk satu orang lagi nanti.
Terimakasih untuk kasih sayangmu dan setiap restu yang kau berikan atas semua langkah yang kupilih. Atas pelukan hangatmu yang paling mendamaikan di dunia dan tak tersaingi apapun.
Saya sayangki, Bun!!!!!!!!!^^
Pernah aku menanyakan ini pada teman-teman sewaktu kecil dulu...
"Lebih sayang mana, ayah atau ibu?"
Kebanyakan dari mereka menjawab,
"Sama saja. Tak ingin membeda-bedakan mereka."
Saya bisa saja dengan tegas menjawab, "Ibu!!"
Saya lebih dekat dengan beliau ketimbang ayahku, mungkin alasannya saat itu. Itupun sebelum ayahku harus pergi jauh untuk menuntaskan sekolahnya, selama dua tahun di ujung timur pulau Jawa sana.
Sepulang ayah sekolah, jawabanku berubah... "Ayah!!"
Itu karena ibuku dikirim bertugas di sebuah pulau (dan sekarang pun masih). Sampai akhirnya dari bangun sampai tidur lagi yang kulihat hanyalah ayah. Ayah ke kantor, saya bangunkan. Sepulang kantor menyiapkan minumannya tanpa disuruh. Juga mempersiapkan tempat tidurnya.
Sesekali melihat ibu jika beliau pulang di akhir Minggu, untuk menginap barang dua hari. Itu... beberapa tahun yang lalu. Waktu berubah. Hidup kami berubah. Ibu seolah menjadi orang tua tunggal yang membesarkanku. Sesekali bertemu ayah di awal bulan, kadang bisa sampai tiga kali sebulan.
Pernah saat separuh dari bangunan kokoh rumah kami sekarang, masih berupa susunan bata tak berbentuk... saya, kakak, serta beliau (ibuku) terdiam mengendalikan perasaan masing-masing. Dalam diam, kami saling bertatapan, kami akan memulai hidup kami yang baru. Tanpa pria yang akan melindungi kami di sepanjang waktunya.
Kami bertiga akan saling menguatkan. Sampai hari ini itu yang membuat saya bertahan. Saya terlalu durhaka untuk membuat kekuatannya melemah. Usia empat puluh satu tahun memang sungguh melemahkannya. Tapi, beliau masih punya semangat untuk menghidupi dua putri, ibu, nenek, dan seorang kakaknya. Beliau masih sanggup hidup di tengah keterbatasan teknologi di tempat tinggalnya disana. Hidup menyeberangi pulau demi hidup yang lebih baik bagi keluarganya.
Kadang penyakit datang, seolah menegur fisiknya yang menua. Ingin memintanya berhenti bekerja dan beristirahat. Tapi, aku belum cukup berbakti untuk sanggup mengambil alih tugasnya sebagai tulang punggung keluarga kami. Aku terlalu lemah untu bisa sepertinya. Terlalu rapuh untuk bisa sekedar berdiri, mengambil perannya, dan memintanya menjaga diri saja.
Pernah saat saya dan kakak ke pulau mengunjungi tempatnya disana. Di perjalanan, ombak besar menerjang kapal kami. Kapal kami agak oleng. Sulit membuat kakak saya yang penakut itu untuk percaya bahwa keadaan baik-baik saja. Sedang dalam hati saya sudah sangat ketakutan dan terus mengucap basmalah sekedar menenangkan hati. Entah kenapa, basmalah selalu efektif untuk membuat kapal tersebut (rasanya) berlayar dengan tenang.
Tapi, belum cukup membuat ketegangan berakhir disitu saja. Pikiran lain hadir meredakan ketegangan, ibuku setiap minggunya pergi-pulang dengan kapal yang sama, dengan cuaca yang mungkin lebih buruk dari saat itu. Tuhan masih bersama ibuku dan melindunginya. Memberi keberanian sebab ada keluarga yang menunggunya di rumah. Apa saya sebegitu tidak berbaktinya hingga tidak ingin 'mencoba merasakan' sedikit dari jutaan pengorbanan ibuku??
Sejak kecil, beliau sudah mengerti tentang kerasnya kehidupan yang mengintai setiap detik waktunya. Beliau pernah kaya harta, lalu jatuh... sampai air asam dan terasi menjadi teman setia nasi yang menjadi makanannya. Beliau pernah berbagi susu pembagian sekolahnya, kepada adik bungsunya. Baginya, lebih baik adiknya yang merasakan minuman mahal (saat itu) dari pada dirinya. Sedang saat itu, makanan bergizi jauh dari jangkaunya.
Beliau pernah hidup dalam segala keterbatasan. Dimana harapan memiliki suatu barang hanya sekedar harapan. Dimana keinginan menikmati sesuatu hanya sekedar keinginan. Sebab itulah, beliau selalu menuruti/mengabulkan semua keinginan putrinya. Sekalipun hanya sekedar janji yang entah kapan akan ditepati. Sekalipun beliau harus memaksa tubuhnya bekerja lebih keras lagi. Beliau tidak ingin harapan atau keinginan anaknya hanya sampai disitu. Beliau tak ingin putrinya merasakan hal yang sama dengannya, menyerah pada keterbatasan.
Sebab itu beliau menyediakan ini-itu untuk putrinya. Memberi ini-itu yang seolah tanpa batas. Mengiyakan ini-itu sebab tak ingin mengecewakan putrinya. Dan, putrinya, anak yang tak tahu arti kerja keras memanfaatkan peluang yang ada. Meminta ini-itu seenaknya tanpa kasihan pada raga ibunya yang kian menua tapi tetap berjiwa muda itu.
Saya mungkin takkan bisa sehebat beliau. Tapi, dari semangat hidup yang ditularkannya, saya bisa belajar... takkan menyerah pada ujian hidup. Sekalipun mungkin pengkhianatan silih berganti datang. Sekalipun mungkin pengkhianatan itu datang dari orang yang sangat dikasihi. Saya masih bisa hidup!!
Maaf jika saya belum bisa membahagiakanmu, hanya sanggup menyusahkanmu. Hanya bisa membebanimu dengan segala tingkahku. Hanya sanggup memintamu memenuhi inginku. Maaf, bunda/ibu/mami/mamah/mamak/male'/dan segala panggilan untuk orang tua perempuan yang hanya akan kusebut untukmu, dan kusisakan untuk satu orang lagi nanti.
Terimakasih untuk kasih sayangmu dan setiap restu yang kau berikan atas semua langkah yang kupilih. Atas pelukan hangatmu yang paling mendamaikan di dunia dan tak tersaingi apapun.
Saya sayangki, Bun!!!!!!!!!^^
Komentar
Posting Komentar