Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2010

Teman Superalim

Tentangmu yang sudah tak terdeteksi lagi keberadaannya... Dulu... pernah saya berharap bisa menjadi temanmu. Kapan lagi bisa punya teman yang super alim?? Alhamdulillah, kau sering menyapa dalam keheningan malam yang sepi itu. Kau selalu ada, menanyakan kegiatanku selarut itu. Dulu... kukira kau superkuat. Pikirku, imanmu sangat kuat. Sayang, mentalmu kadang jatuh saat masa lalumu terbayang di depan matamu. Masa lalu yang hampir sama dengan masa laluku. Bedanya, saat hal itu kembali terjadi di hadapanku, pilihanku adalah menghindar. Sedang, kau memilih tetap disana meski jiwamu kesakitan. Bisa sakit juga kau rupanya. Saat itu, kau memucat... lalu harus ditopang tubuhmu agar tak jatuh. Kau benar-benar rapuh. Andai kutahu hal itu akan terjadi, akan kuminta kau meninggalkan tempat itu tanpa sempat membiarkanmu kembali mengenang masa lalu yang menyakitkanmu itu. Lalu... Kau pergi... Hilang sudah harapanku berteman dengan orang superalim sepertimu. Banyak yang superalim, tapi tak pernah mem

17 Syawal 1431

Mungkin kau menganggapku anak kurang ajar. Terserah, itu hakmu. Meski kutahu kau mungkin tak akan setega itu padaku. Malaikat di sampingku mungkin pula telah mencatat amal burukku itu. Tapi, semoga dia juga tahu alasanku berbuat demikian. Kau tak hendak mengunjungi rumahku, yang dulunya juga rumahmu. Kau memintaku ke rumahmu. Tapi, tak kuindahkan. Sebab aku tak ingin sungkeman dengan orang lain disana. Maaf, aku keras kepala. Masih tak mau memaafkannya. Dan hanya ingin sungkeman denganmu. Malam tadi kau datang. Mencariku, tapi aku masih saja sibuk mengerjakan sesuatu. Hingga akhirnya mesin sepeda motormu kau nyalakan lagi, hendak kembali ke rumahmu. Kukatakan, "Tunggu..." Dan kau menunggu, terimakasih!! Akhirnya, bisa sungkeman denganmu. Meski dengan kau berada di atas sepeda motormu, dan aku berdiri di gerbang rumahku masih dengan setelan mukenah yang belum kubuka sejak Maghrib untuk menunggu Isya. Terimakasih. Maaf. "Pamapporanga, Tetta!!"

Yang Terakhir Untukmu (Kucing)

Satu... Berjam-jam menanti kehadiranmu Kamis itu. Apalagi saat seorang teman menjanjikan kedatanganmu. Tapi, yang kudapati hanya leher yang pegal sebab terus mencarimu, celingak-celinguk, kiri-kanan. Dua... Berjam-jam menanti sapaanmu dari akun ym yang hanya berisi kau dan beberapa orang penting lainnya. Hanya sedikit yang kuperlukan. Sapaan. Sekedar menanyakan kabarku. Meski tujuanku selanjutnya adalah berbalik menanyakan kabarmu yang sangat ingin kuketahui itu. Tiga... Sementara ini, dua jam menanti sapaanmu (lagi) di chat fb. Biasanya akan kutinggal hal itu ketika melihat namamu disana. Sekarang, biarlah aku menantimu lagi sebentar. Sebagai yang terakhir dari setiap penantian kosong yang sudah tiga tahun ini berlaku bagiku. Ada baiknya kejadian kemarin hanya menjadi salah satu penyusun diriku hari ini. Tak untuk kukenang lagi sebagai pengharapanku ke depannya. Bukankah terus berharap pada hari kemarin sama saja menyia-nyiakan hariku saat ini?? Juga hari ke depan yang seharusnya men

Masalahmu, Pilihan Hatimu

Masalah hati adalah hal yang harus diurusi diri sendiri. Maksudnya, saat dimana kita harus berjalan sendiri-sendiri. Seperti kata seorang teman pada seorang temannya yang lain. Meski katanya dia mengatakannya saat sedang berselimut amarah, "Itu masalahmu, pilihan hatimu!" *kira-kira seperti itu Ya, itu masalah pribadi kita. Urusan hati kita. Lalu, kenapa di hari kemarin kau terlalu banyak ikut campur pada urusan orang lain? Tidak hanya sekali! Berkali-kali!!! Satu... Saat seorang teman berhubungan kembali dengan seorang mantan kekasih yang selalu mengingkari janjinya. Dua kali lelaki itu berjanji untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Di kali ketiga, si teman masih saja nekad membiarkan hatinya memilih kembali ke lelaki itu. Dan... lelaki itu melakukan hal yang sama lagi. Mengingkari lagi. Tunggu... masih ada kali keempat. Yang berbeda, si teman tak hendak mendiskusikannya kepadamu sebab dia sudah sangat hafal perkataanmu nanti. Protes kerasmu terhadap kembalinya si teman

Lebaran Hari Ke-6. ckckck

Saya pikir, Hari Raya Idul Fitri adalah saat dimana silaturahmi kita semua kembali membaik. Bermaaf-maafan, mula dari NOL kembali. Biasanya itu ditandai dengan bersalamannya kita dengan seseorang. Itu dulu... akhir-akhir ini kebiasaan itu menjadi jarang dilakukan lagi. Ada yang mengucapkan lewat kartu lebaran, sekedar SMS, telepon, atau via jejaring sosial. Sayang, tak satupun dari cara itu bisa meleburkan kedinginan hati kita. Saya tahu, bukan saya yang seharusnya menunggumu datang, hadir di rumah seperti tahun-tahun kemarin. Seharusnya saya yang menghampiri kediamanmu, seperti layaknya yang muda menghormati yang tua. Tapi, kenapa kebiasaan itu tak lagi berulang? Kau memintaku mengunjungi rumahmu. Sementara kau tahu saya tak mungkin melakukannya. Sebab saya tahu, kau mungkin saja akan meminta saya bersalaman dengan orang yang teramat saya benci. Kumohon mengertilah... Hatiku takkan seputih apapun yang paling putih. Selalu ada noda hitam disana. Salah satunya, amarah dan dendamku pada

Pergerakan (Mendekatkan atau Menjauhkan)

Hidup itu tentang pergerakan Kita tak pernah tepat berada di titik yang sama Semua bergerak seiring waktu yang berdetak Lengser, bergeser menjauh Kadang kita berjalan searah Melangkah bersama hingga merasa sangat dekat Tanpa pernah ada bayangan untuk terpisah Tapi, kenyataan tak pernah sama Beberapa alasan datang memaksa salah satu di antara kita mengubah arah Lalu, kedekatan itu menjadi hal yang ingin terlupakan Ya... hidup itu tentang pergerakan Waktu kadang membuat kita dekat, lalu berjauhan Seperti kebutaan kita akan esok hari, kita jauh tanpa tahu bisa mengulang kedekatan itu kembali