Langsung ke konten utama

Kehilangan, Sebuah Fase Hidup

Kehilangan adalah bagian akhir dari proses memiliki sesuatu. Atau, melepas sesuatu yang pernah kau sebut punyamu. Punyaku. Punya kita. Setidaknya, kehilangan ini hadir dalam bentuk perasaan. Seperti kutipan lirik lagu yang Letto punya, "Rasa kehilangan hanya akan ada, jika kau pernah merasa memilikinya." Kehilangan bisa berarti berakhirnya kehidupan yang pernah kita bangun bersama. Atau juga, berarti memulai kehidupan yang baru, dengan orang-orang lainnya. 

Saya pernah kehilangan. Sering. Dan seringnya tak punya nyali untuk meminta kembali apa yang pernah saya miliki itu kembali. Nyali atau sekedar gengsi? Bagi saya, meninggalkanku berarti kau kehilanganku. Tak ada jalan kembali. Rasaku tak akan pernah sama ketika kau kembali memilihku. Karena saya tak akan terima kau memilihku setelah pernah meninggalkanku ketika saya memilihmu dulu. Mengerti? Saya pun tak mengerti kenapa bisa jadi seperti itu.

Sekarang, saya tak sedang bercerita tentang kau dan kau yang ternyata kembali setelah saya tak punya minat dekat denganmu lagi. :p Saya sedang ingin bercerita tentang beberapa kehilangan (yang sebenarnya bukan sebenar-benarnya kehilangan). Ini hanya sebuah fase hidup yang harus saya jalani kemudian. Ehm... beberapa orang terdekat sedang bersiap memulai kehidupan barunya. Dan, sebagai manusia yang baik, harusnya saya serela mungkin melepas mereka demi masa depan yang lebih baik. Masa depan yang juga akan saya punya nanti. Amiin. 

Lama, sebelum hari ini. Saya sudah bersiap melepas kedekatan (secara fisik) dengan kakak saya satu-satunya. Melepasnya untuk tak lagi hidup satu atap dengan saya. Meninggalkan kebiasaan dicari ketika pulang terlambat atau mencarinya ketika giliran dia yang tak pulang cepat ke rumah. Tapi, sepertinya harus benar-benar bersiap untuk kehilangan kebiasaan itu. Sebulan dari sekarang, dia akan pulang ke rumah di mana suami dan keluarganya ada di sana (insyaa Allah). Tak ada lagi saling mencari ketika saya atau dia terlambat pulang ke rumah kami. Tak lagi akan saling menitip pesan ketika saya atau dia ada informasi penting untuk keluarga di rumah. Kakak akan menikah sebentar lagi. Alhamdulillah. 

Saya sangat bersyukur, meski yah.... agak tak rela berjauhan dengannya. Meski rumahnya hanya sebatas beberapa kilometer. Rumah yang bahkan ada di area kampus saya, area yang familiar. -_- Saya hanya tak siap untuk dewasa dan membina keluarga masing-masing yang akan menjauhkan kami nanti. Hehe. Padahal memang seharusnya seperti itu. Masing-masing kami akan punya orang-orang lain yang akan kami sebut keluarga. Orang-orang yang akan lebih penting dari ikatan persaudaraan sejak saya lahir. Ah, sedih saja rasanya! Secepat ini waktu akan membuat kami jadi orang-orang yang tak dekat. Dan, yah... ini hanya kekhawatiran saya saja. Bonusnya, saya mendapat saudara baru lainnya. (Calon) Kakak ipar yang saya tahu, sangat menyayangi kakak saya. Alhamdulillah... Semoga urusan untuk menghalalkan hubungan mereka ini dilancarkan, begitu seterusnya. Amiin!

Sayangnya, sembari bersiap untuk kehidupan yang baru ini... saya harus bersiap untuk melepas dua orang lainnya. Dua sahabat yang akan berkarir jauh dari kota ini. Cerita mereka akan saya tuliskan di posting-an selanjutnya. Semoga minat menulis itu masih ada.

## Tulisan-tulisan di blog ini, selanjutnya (atau sebelumnya juga) berisi beberapa perasaan yang sempat saya tuliskan. Keluhan, kegembiraan, kebimbangan, atau kemarahan adalah sedikit bagian dari yang saya punya. Terimakasih sudah sudi membaca. Saya mencintai kehidupan yang saya punya. Sungguh! ;) Alhamdulillah...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Untuk Paris dan Jo

Singkat saja kali ini. Aku akan menyusul kalian. Seminar proposal. Segera. Segera, setelah bulat tekadku menghadap ibu PA cantik dan baik hatinya. Serta bapak Ketua Jurusan yang tak kalah baiknya. Ttd., Rizka dan sisa-sisa semangat demi menghabiskan 08 yang tersisa di sisa-sisa akhir kesempatan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi, eh, Sarjana Sosial dari kampus merah.

Berdamai dengan Takdir

Sepertimu, saya hanya seorang manusia biasa. Dengan jalan hidup yang sudah ditentukan oleh-Nya. Kita menyebutnya takdir. Saya, kau, dia, dan mereka takkan pernah bisa membuatnya berubah atau bergeser sedikitpun. Ukurannya tepat tanpa bisa digugat. Beberapa tahun ini, ada takdir yang terus saya sesali keberadaannya. Terus bersedih saat mengingatnya. Seringkali menyalahkan hal lain sebagai penyebabnya. Termasuk menghukum diri dengan menganggap kesialan tak pernah punya akhir. Sekarang... saya memilih berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan takdirku juga takdirmu. Saya bukan seorang penting yang bisa membuatnya berubah. Lagipula, kalau ini takdir, bagaimana bisa saya melawannya? Yang saya bisa hanya mencoba berdamai. Mencoba menata hati yang selalu menentang hal yang tak saya sukai. Tapi, bukankah hati tak mesti selalu bahagia? Sedih, gusar, dan kepahitan hidup harus ada agar kau juga bisa menghargai nikmatnya bersenang-senang. Berdamailah... terima takdirmu. :)