Langsung ke konten utama

Pemicu Amarah - Jiwa tanpa Kabar

Kembali terjadi... Karena ketersinggungan yang mungkin sepele, aksi penghindaran pun kembali terjadi. Selalu begitu, kegiatan penghindaran paling ampuh dilakukan untuk menjernihkan hati dari amarah yang menggila. Penghindaran... menjauh sejenak. Daripada amarah dilampiaskan tepat di hadapan di pemicu amarah?? Pilih mana??

Tapi, yang berbeda... amarah kali ini benar-benar reda. Seolah tak ada amarah sebelumnya. Seolah tak pernah terjadi sesuatu yang membuat kejengkelan sempat meningkat drastis.

Apa karena kesabaran benar-benar sudah terlatih??
Apa iya sudah sesabar itu??
Atau, karena si pemicu amarah??

Hha... Tak tahulah. Yang jelas ada perubahan dari cara peredaman amarah. Amarah kali ini benar-benar reda. Hanya dengan menghindar sejenak. Bukan dengan menghindar, menjauh, pergi dan tak kembali, seperti rencana awal. Lalu kembali ke hadapan si pemicu amarah, yang sudah tertekan akibat rasa bersalah yang teramat sangat, dengan tampang datar.

Satu kesadaran yang datang terlambat. Ada rasa tak tega melihat jiwa itu merasa bersalah. Padahal, kesalahan bukan sepenuhnya berada pada jiwanya. Ada hati yang terlalu sentisif yang turut berperan dalam amarah tadi. Tapi, jiwa tadi sudah terlanjur merasa bersalah, dan menganggap jiwanya terlalu ceroboh dalam bercanda.

Maaf... Kesensitivan ternyata hanya berlaku bagi hati egois itu. Hati itu tak cukup sensitif untuk merasakan betapa tertekannya jiwa yang sudah sibuk memikirkan harapannya yang nyaris tak tersampaikan. Hati itu malah semakin menambah beban jiwa yang nyaris putus asa itu, sama seperti sehari sebelumnya.

Yang berbeda, sehari sebelumnya... hati itu masih mampu mengurangi beban itu dengan memenuhi semua pintanya. Tanpa sempat membiarkannya memohon. Kali ini, hati itu hanya mampu menatap wajah jiwa yang putus asa itu. Hanya menatap, tanpa bisa mendekatinya. Takut membuat bebannya semakin bertambah.

Maaf... masih memikirkan hati yang kehilangan kabar jiwa itu. Meski sekedar permintaan atau perintah. Padahal, jiwa itu mungkin saja sedang beristirahat. Beristirahat atas kelelahan yang teramat sangat atas perjuangan meraih harapannya yang ternyata masih tak bisa tersampaikan.

Tak tahu bisa berbuat apa untuk membantu mencapai harapannya. Sementara hati itu masih mencari tahu kabar jiwa yang menghilang. Ah, biar si jiwa yang kelelahan itu istirahat saja lah. Masih ada hari esok untuk menanti kabarnya. Meski hanya sekedar berbagi pinta atau perintah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aktivitas di Luar Kebiasaan

 Halo, saya Rizka. Seorang istri dan ibu dari sepasang putra dan putri yang lagi lucu-lucunya. Dua anak cukup? Biasanya, keseharian saya hanyalah mengurus rumah tangga. Seperti ibu muda biasanya. Yang kemudian selama lebih dari setahun belakangan, mencoba beraktivitas di luar kebiasaan. Ini tak mudah, meskipun sekarang lebih mudah rasanya. Kenapa? Ada dua kenapa dan kenapa.  Kenapa saya masih menginginkan aktivitas lain di luar kebiasaan menjadi ibu rumah tangga? Saya mungkin masih bisa leyeh-leyeh di rumah. Menikmati empuknya pembaringan serta hembusan angin dari kipas angin listrik di sudut kamar, atas nama istirahat sejenak. Dari kesibukan memenuhi kebutuhan suami dan anak-anak saya. Tapi, seorang yang sangat bisa menikmati waktu santai dengan begitu seriusnya, juga sangat bisa bosan. Jadi, intinya adalah kebosanan itu sendiri. Yang bahkan semua cara untuk membunuh rasa bosan ini, sudah jadi aktivitas yang membosankan.  Bukan saya tak mencintai suami dan anak-anakku t...

Kehilangan, Sebuah Fase Hidup

Kehilangan adalah bagian akhir dari proses memiliki sesuatu. Atau, melepas sesuatu yang pernah kau sebut punyamu. Punyaku. Punya kita. Setidaknya, kehilangan ini hadir dalam bentuk perasaan. Seperti kutipan lirik lagu yang Letto punya, "Rasa kehilangan hanya akan ada, jika kau pernah merasa memilikinya." Kehilangan bisa berarti berakhirnya kehidupan yang pernah kita bangun bersama. Atau juga, berarti memulai kehidupan yang baru, dengan orang-orang lainnya.  Saya pernah kehilangan. Sering. Dan seringnya tak punya nyali untuk meminta kembali apa yang pernah saya miliki itu kembali. Nyali atau sekedar gengsi? Bagi saya, meninggalkanku berarti kau kehilanganku. Tak ada jalan kembali. Rasaku tak akan pernah sama ketika kau kembali memilihku. Karena saya tak akan terima kau memilihku setelah pernah meninggalkanku ketika saya memilihmu dulu. Mengerti? Saya pun tak mengerti kenapa bisa jadi seperti itu. Sekarang, saya tak sedang bercerita tentang kau dan kau yang ternyata kem...

Perempuan Tangguh

Pernah saya dan beberapa teman mendapat julukan ini. bersama tiga teman seangkatan di kampus dan dua kakak di sana. Agak beresiko memang, dengan kata-kata itu. Karena sesungguhnya kami (sepertinya) hanyalah mencoba terlihat tangguh. Kami juga bukan superhero yang harus membantu kaum yang lemah. Apalah kami yang membantu diri sendiri saja sudah sulit. Atau itu hanya perasaanku saja. Pada akhirnya mereka jadi tangguh dengan cara mereka sendiri. Semoga aku pun sama. Update 2019... Tak semua dari mereka masih dekat denganku sekarang ini. Secara komunikasi, hanya dua dari mereka. Secara fisik, tak satu pun dari mereka dengan mudah kutemui saar ini. Apa jadinya kami kalau bertemu lagi? Mungkin akan mudah meski hanya bertanya kabar terkini tentang keadaan kami masing-masing. Agak merindukan mereka... Merindukan rasa tangguh seolah kami benar-benar tangguh Karena sesungguhnya saya hanya sedang rapuh saat ini Mungkin sedikit atmosfer di antara mereka bisa menularkan ketangguhan ...