Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Seseorang yang Saya Sebut Motivator Pribadi

Saya percaya satu mitos yang saya buat sendiri. Cerita saya dengan seseorang, takkan berhasil ketika saya coba menuliskannya. Hanya karena itu, saya tak banyak menuliskan tentang dia, motivator pribadi saya. Bukan karena tak percaya kalau dia akan terus ada bersamaku. Hanya saja, rasa takut kehilangan dia begitu besar. Sampai logikaku tak bisa bekerja dengan baik. Bahwa mitos itu harusnya hanya jadi sekedar mitos. Jadi, mari membuktikannya. Lagipula, kalau kelak dia tak jadi denganku, itu takdir dan bukan karena pengaruh mitos ini kan? Lalu, mulai dari mana saya menuliskannya? Rasanya dia terlalu nyata. Sampai lebih baik saya berbicara dengannya saja untuk memberitahu apa yang saya rasa. Daripada sekedar menuliskannya. Hmmm... seperti itu lah. Namanya Abdul Rahim. Lelaki yang saya sebut dengan, hmmm... tebak saja sendiri. *blushing* Ya, ini pertama kalinya saya merasakan bahagia macam ini. Abang ini lelaki pertama yang menemani saya dan disebut pacar. Meski lidah bahkan jariku m

Teman yang Tak Lagi Dekat

Ini tentang Mini yang jauh di sana... Iya, Rukmini Rasyid yang terlalu identik dengan keberadaan saya di teman-teman KOSMIK. Dia terlalu jauh terbang. Terbang dengan pesawat, maksudnya. Sampai saya susah menyusulnya. Menyusul dengan alasan apa juga? Sekarang ini, dia terlalu sibuk, mungkin. Sampai saya merindukannya. Kalau yang satu ini... karena ada sangat banyak hal yang ingin saya ceritakan pada dia. Juga ada banyak hal yang ingin saya dengar dari dia. Ah... baru kali ini ada teman yang bikin saya serindu ini. Kehidupan banyak berubah memang. Yang perlu saya lakukan sekarang, adalah menerima perubahan itu dan melakukan bagianku sendiri. Yaitu, juga ikut berubah sesuai kebutuhan hari ini. Tapi... saya terlalu rindu Mini. Teman yang tidak akan bikin saya merasa terasing, meski dalam hingar bingar keramaian yang tak saya mengerti. Saya rindu. Sampai ingin berlari menggapai dia. Sangat ingin memeluk dia. Atau, kalau tak bisa, cukup dia duduk di sekitarku saja. Meski larut dal

Hanya Sedang Berbahagia

Assalamu'alaikum Wr. Wb. Selamat siang (saat saya sedang menuliskan ini). Atau selamat pagi.. selamat sore.. dan selamat malam (kalau kau sedang membacanya di waktu yang lain). Saya sedang berbahagia. Terlalu bahagia sampai takut kalau sewaktu-waktu Tuhan bisa mengubah rasa itu kapan saja. Tuhan sedang sangat berbaik hati sama saya saat ini. Bukannya saya bilang kalau di waktu yang lain Tuhan tidak baik sama saya. Tapi, sekarang ini Tuhan sedang terlalu baik. Saya terlalu bahagia. Alhamdulillah... Alhamdulillah (lagi) beberapa teman terdekat sedang dalam perjalanannya menuju masa depan masing-masing. Rukmini yang jauh di OZ sana (yang dia janjikan akan dia ceritakan di blognya sendiri). Armita dengan karir yang katanya tidak sesuai dengan maunya, tapi saya yakin dia bisa bertahan. Triana yang masih disibukkan dengan dunia broadcast lengkap dengan event seperti yang sejak dulu dia suka. Tenri dengan perbankan yang memang sejak dulu dia mau. Armas melanjutkan kuliah S2, yang saya

Kehilangan, Sebuah Fase Hidup

Kehilangan adalah bagian akhir dari proses memiliki sesuatu. Atau, melepas sesuatu yang pernah kau sebut punyamu. Punyaku. Punya kita. Setidaknya, kehilangan ini hadir dalam bentuk perasaan. Seperti kutipan lirik lagu yang Letto punya, "Rasa kehilangan hanya akan ada, jika kau pernah merasa memilikinya." Kehilangan bisa berarti berakhirnya kehidupan yang pernah kita bangun bersama. Atau juga, berarti memulai kehidupan yang baru, dengan orang-orang lainnya.  Saya pernah kehilangan. Sering. Dan seringnya tak punya nyali untuk meminta kembali apa yang pernah saya miliki itu kembali. Nyali atau sekedar gengsi? Bagi saya, meninggalkanku berarti kau kehilanganku. Tak ada jalan kembali. Rasaku tak akan pernah sama ketika kau kembali memilihku. Karena saya tak akan terima kau memilihku setelah pernah meninggalkanku ketika saya memilihmu dulu. Mengerti? Saya pun tak mengerti kenapa bisa jadi seperti itu. Sekarang, saya tak sedang bercerita tentang kau dan kau yang ternyata kem

Seorang Penakut

Kau boleh mengantarkanku pada malam Saya tak pernah takut dengannya Saya menikmati sunyi dan gelap di sana Kau boleh meninggalkanku pada derasnya hujan Tapi, jangan harap takutku akan datang segera Saya menyukai sentuhan di kulitku oleh rintiknya Juga dingin yang menusuk tulang Bahkan jika kau menambahkan kilat, petir, dan guntur untuk melengkapinya Kau boleh tak percaya Saya malah lega setelah merasakannya Saya pernah takut ketinggian Tapi, kuobati dengan keseringan melewati jembatan penyeberangan jalan Saya tak takut makanan pedas Tak takut serangga Juga tak takut ular Tak takut api panas Tak takut jika tubuhku terluka Tapi, sungguh takut mengalami penolakan Takut dikritik sampai hatiku luka Takut tak diterima dan itu membuat hatiku memar Saya lemah Saya sebenar-benarnya hanyalah seorang pengecut, penakut...

Berakhirnya Juni

Juni hampir habis, Sayang... Jauh berjalan dari November yang sama kita tinggalkan. Tapi, masih juga kutunggu kamu dengan bodohnya. Dengan janji, "Kalau saya ke Makassar, kita ketemu yah?" Pasti. Dengan bodohnya lagi, kutunggu kamu. Tepat seperti bulan Desember, Februari, dan April lalu. Yang kutahu pasti, kamu pernah ada di sini. Seperti biasa, tanpa memberitahuku. Tanpa penepatan janjimu. Masih juga kutunggu sampai sekarang. Tepat di saat bulan Juni. Per dua bulan kebiasaanmu mengunjungi kotaku lagi. Tapi, harus ada yang berhenti untuk membohongi diri sendiri seperti sekarang ini. Tentang menunggu yang tak pernah pasti. Kenyataannya, kamu tak akan berhenti dengan janji manis itu. Maka harus aku yang berhenti membohongi diri menanti kamu. Akun Whatsapp telah kuhapus. Juga akun Wechat yang kedua, setelah upaya menghindarimu gagal. Untuk BBM, setelah menghapusmu, aku yakin tak akan berteman denganmu lagi di sana. Selanjutnya, mematahkan simcard nomor yang kamu tahu it

Ingat, Baca - Tulis!

Saya percaya, perlu banyak membaca untuk bisa membuatmu banyak menulis. Banyak bacaan, banyak tulisan. Jadi, untuk menulis tentu perlu banyak membaca terlebih dulu. Dan, saya lupa dengan kebiasaan ini. Saya tak lagi banyak membaca buku. Sedikit membaca pun sudah sangat jarang. Lalu, kenapa menulis? Saya tak tahu harus menulis apa. Membaca saja jarang, apalagi dengan menulis? Hanya karena kebiasaan membaca saya jauh berkurang, saya bahkan kehilangan minat untuk menjadi seorang penulis. Satu-satunya mimpi yang pernah membuat hidup saya jadi bersemangat. Memangnya apa saja yang pernah saya baca? Hahahaha. Saya tak lagi ingat. Ingatan saya selalunya payah. Dan semakin diperparah dengan kemalasan saya untuk menulis. Itulah kenapa, harusnya saya banyak lagi membaca, lalu menulis kemudian. Lagi-lagi, membaca, menulis, untuk mengingat apa yang pernah singgah di pikiran. Untuk membuat kepalaku masih terus berguna. Bukan hanya menjadi benda yang hinggap di atas leherku saja. Suatu waktu,

Berbagi Berbagai Cerita

Saya suka mendengar orang bercerita. Sama sukanya dengan membaca cerita lewat tulisan. Saya hanya suka dengan cara orang-orang berbagi kisahnya masing-masing. Menurutku, ini seperti menularkan apa yang mereka rasa. Berbagi bahagia, haru, sedih, marah, dan kecewa. Apapun itu, bercerita membuat seseorang seperti punya arti. Bercerita seperti membuktikan bahwa seseorang (siapapun itu) penting keberadaannya. Setiap orang membutuhkan pengakuan untuk dianggap penting. Dan, dengan mendengarkan atau membaca ceritanya, kebutuhan ini cukup terpenuhi. Cerita perlu dibagi, biar tidak menyimpan sesak sendiri. Biasanya, seseorang yang bercerita akan lebih bahagia atau lega setelah menyampaikan kisahnya. Saya juga jadinya tertular bahagia dan lega dengan kisah apapun itu. Sembari berharap, setiap orang cukup puas dengan kisahnya sendiri. Seringnya, saya turut senang dengan kisah bahagia yang dipunya orang lain. Sangat bersyukur, di luar sana masih ada orang-orang yang berbahagia. Entah bagaimana,

Jodoh ......... Bertemu

"Jodoh pasti bertemu..." Itu kata Afgan pada salah satu lagu indah yang dinyanyikannya. Banyak orang berusaha meyakini itu. Sebagai harap biar bisa berjodoh dengan orang yang diimpikannya. Saya, tentu juga percaya itu.  "Jodoh harus bertemu..." Itu kata saya bersama seorang teman. Kami berusaha meyakini itu. Sebagai harap biar bisa berjodoh 'hanya dengan' orang yang dimaksudkan saja. HARUS. Agak-agak memaksakan kehendak memang. Tak begitu serius. Kami hanya menikmatinya. Tapi, semakin hari saya jadinya pesimis. Orang yang dimaksudkan seperti tak pantas mendapatkan do'a tulus seperti itu. Maka, kalimatnya diganti... "Jodoh harus bertemu, atau yang lebih baik dari itu." Tuhan yang menentukan siapa orang yang terbaik itu. Semoga bukan dia. Tapi, mau apa lagi kalau memang dia? Bukan sekarang... sekarang fokus dengan pencapaian hidup yang lain saja dulu. ;)

Harapan Itu Sudah Berhenti

Apa yang kau pikirkan tentang harapan? Berharap... atau menginginkan sesuatu yang mungkin jauh di luar jangkauanmu. Saya sendiri, menganggapnya seperti sesuatu yang menentukan bagaimana kita menjalani hidup ini. Dia serupa tujuan hanya agar hidupmu tidak berjalan tanpa arah. Dia penyemangat agar kau fokus menjalani satu macam hidup saja. Bukan membatasi, hanya mengarahkan. Hampir setahun terakhir, saya hidup seperti berharap pada satu hal saja. Terdengar bodoh memang. Tapi, begitu kenyataannya. Saya berharap pada seseorang untuk terus bisa menemani saya. Hanya karena dia bisa menyemangati, mengajari, juga mengingatkan tentang semua hal yang terlupa tanpa sengaja. Beberapa bulan kemudian, dia memilih pergi. Saya seperti kehilangan arah. Harapan saya musnah begitu saja. Lebih bodoh lagi, saya tak tahu harus berbuat apa untuk kembali mendapatkan semangat saya yang dulu. Sebenarnya, saya sangat membenci ini. Dan termasuk hal yang paling saya hindari dulunya. Bergantung pada kehadiran

Ketika Saya Berencana Fokus

Kadang sesuatu terjadi tanpa direncanakan. Menurutku seperti itulah hidup. Yang terjadi, biasanya tak sama dengan yang kita rencanakan. Karena hidup kita sendiri, bahkan bukan kita yang memiliki. Pemiliknya, Sang Pencipta kita. Semua yang terjadi tentu atas kehendak-Nya. Kadang seperti yang kita mau, kalau memang itu yang terbaik. Lebih sering lagi, berbeda dengan yang kita mau. Karena kita sendiri bahkan tak tahu pasti mana yang memang terbaik untuk diri kita. Dua bulan terakhir, waktu yang tersulit bagi saya untuk bisa berkonsentrasi mengerjakan tugas akhir. Ya, anggap saja ini sekedar alasan sepele yang saya punya. Sekuat tenaga harus bisa mengalihkan pikiran dari... ehmmm... hal yang harusnya tak begitu penting (sekarang ini). Ada hati yang harus direkatkan kembali setelah sedikit patah karena kekecewaan kemarin. Ada harapan yang harus benar-benar dihentikan karena tak ada jalan bagi harapan itu bertumbuh lagi. Ada harapan baru yang mesti ditumbuhkan agar warna-warni bunganya b