Langsung ke konten utama

Bahagianya adalah Bahagiamu??

I would rather hurt myself than to ever make you cry...
potongan lirik Air Supply (Good Bye) yang saya tampilkan di salah satu akun jejaring sosial saya, rupanya menarik perhatian seorang teman. Si teman ini adalah satu dari beberapa teman yang lumayan dekat dengan saya.

Saya punya beberapa teman yang hubungan saya dengannya setingkat di atas teman biasa. Disebut sahabat, tidak juga... sebab tak semua masalah bisa saya bagi dengan mereka. Hanya sekedar menjelaskan bahwa kejiwaan saya sedang terusik oleh adanya sebuah masalah. Tidak pernah secara detail menjelaskan masalah pribadi, semisalnya dengan kalimat panjang lebar hingga mereka merasa seolah ikut merasakan apa yang saya alami.

Hubungan pertemanan ini, selanjutnya disebut persaudaraan (saya menganggapnya seperti itu), dalam prosesnya terjadi dengan saling memperhatikan satu sama lain. Mulai dari masalah makan, kalau mereka tak melihatmu makan seharian. Atau, menuduhmu tidak tidur seharian hanya karena kau tak bersemangat menjalani aktivitasmu. Perhatian ini ditunjukkan dengan pertanyaan awal jika sempat bertemu dimana saja, "Sudah meko makan??" Atau, "Pucatmu!! Tidur sana!!".

Selanjutnya, ketika merasa satu orang diantara yang lainnya sedang 'bermasalah'. Muncullah pertanyaan, "Are u OK??". Pasti/niscaya/kemungkinan besar akan dijawab, "I'm OK!!". Lalu, akan muncullah keraguan dari si penanya (pe-nanya, bukan pena-nya). Sehingga muncullah kesimpulan bahwa seseorang cenderung berbohong untuk menutupi apa yang dirasakannya.

Biar ku pendam semua yang menyiksaku kan ku tanggung sendiri
Potongan lirik lagu Captain Jack (Monolog Tak Terdengar) coba diingatkan oleh satu saudaraku itu. Dikatakannya lagi,
I'm fine" (it'll always save you from explaining that why u r not fine)
Kalau yang satu itu, entah dia caplok dari mana. Banyak kutemukan saat googling, dengan keterangan tambahan #LiesThatAlwaysWorked. Satu lagi, yang ini dengan keterangan #LearnToBeAlone,
We smile not because everything is fine, but everything is fine because we smile
Entah apa yang ada di kepala saudariku ini. Selalu saja mengatakan saya menyakiti diri sendiri. Padahal dia tak sadar diri, betapa update-an di akun jejaring sosialnya selama ini menyatakan bahwa dia sedang kesakitan.


Baiklah... ada saat dimana kau memang harus menyakiti diri sendiri. Menyerah memperjuangkan bahagia demi melihat orang lain bahagia. Mungkin kau tak paham, tapi kukatakan padamu memang sulit memahaminya jika kau tak benar-benar ada di posisi itu. Ikhlas merelakan bahagiamu mungkin menjadi hal yang mustahil bagimu kini. Berbeda denganku yang ada di posisi itu.

Kondisi ini sangat berbeda dari yang kita alami sehari-hari. Andai sanggup saya menceritakan lengkap kisah ini. Tapi, maaf... tak mungkin itu kulakukan. Sebab melakukannya sama saja memintaku mengulang kembali kenangan tak menyenangkan selama tujuh tahun terakhir. Kurasa, mendengarnya pun kau tak sanggup.

Pernah mendengar ungkapan
Saya bahagia kalau melihat dia bahagia
Kau mungkin menilai kalimat itu "100% bulshit", tapi memang hanya itu yang bisa dilakukan saat ini. Kalau kau memperhatikan kalimat ini, sebenarnya masih ada keegoisan di dalamya. Bayangkan saja, orang itu harus bahagia agar saya bahagia. Kalaupun tidak dia tidak bahagia, pilihan lainnya adalah saya yang bahagia dan dia tidak. Andai ada pilihan lain...

Saya serius saat mengatakan lebih baik saya menderita asalkan dia bahagia. Setidaknya, dengan melihat dia bahagia saya bisa berbahagia. Berbeda jika saya berbahagia, sedang saya tahu dia tidak bahagia. Maka, saat itu juga saya akan tidak tenang, tidak bahagia, dan itu yang saya tak sanggup. Bagaimana?? Egois kan saya??

Setidaknya, dia bisa bahagia. Sebab, jika kau benar-benar menyayanginya, maka bahagianya menjadi hal yang utama bagimu. Tak peduli apapun perasaanmu kelak. Sadar atau tidak, bahagiamu ditentukan oleh bahagianya. Dan kau akan berusaha sebisa mungkin, merelakan apa yang kau bisa, demi bahagianya yang tak lain adalah bahagiamu.

Komentar

  1. "tak semua masalah bisa saya bagi dengan mereka. Hanya sekedar menjelaskan bahwa kejiwaan saya sedang terusik oleh adanya sebuah masalah

    ** bukan.y sudah tdk ada orang yang di atasnya, paling tidak ceritalah pada seseorang, untuk membuat perasaanmu lebih baik

    "Kurasa, mendengarnya pun kau tak sanggup.

    ** tidak akan pernah tahu sampai cerita

    "selama tujuh tahun terakhir
    ** tanda !!

    "Saya bahagia kalau melihat dia bahagia
    ** 100% bullshit

    "Baiklah... ada saat dimana kau memang harus menyakiti diri sendiri
    ** PENGAKUAN !!!!

    BalasHapus
  2. Wuahhhh.. komennya, panjang!! takjub saya!! (haha)

    satu:
    tidak sanggup liat ekspresinya org yg dengar ceritanya

    dua:
    bagaimana kalau tidak akan cerita?? bukankah itu sama dengan kau tidak akan sanggup mendengar ceritanya?? sebab tak akan pernah mendengarnya, jadi...sekuat apapun bujukan untuk menceritakannya, bujukan itu belum sanggup membuatmu mendengarkan ceritanya.. *bijak lagi saya!! (yahoo)

    tiga:
    tanda apa?? (thinking)

    empat:
    hanya 99,9% Masih ada kemungkinan 0,01% :)

    lima:
    sulit menjelaskannya saat kita berada dalam posisi yang berbeda. :D

    BalasHapus
  3. *lewat telp kan bisaaa,, atau gk sah tatap muka aja.. saling memembelakangi.. bisa kan!! (evil_grin)

    ** :-&

    *** tanda..tanda.. (music)

    **** :-&

    ***** hufth.....

    BalasHapus
  4. *nda sanggup terima responnya org, kalo gitu.. :P

    ** SY NDA BILANG MAKASIH

    *** ngek!!

    **** SY NDA BILANG MAKASIH

    ***** hoaaam... (:

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Paris dan Jo

Singkat saja kali ini. Aku akan menyusul kalian. Seminar proposal. Segera. Segera, setelah bulat tekadku menghadap ibu PA cantik dan baik hatinya. Serta bapak Ketua Jurusan yang tak kalah baiknya. Ttd., Rizka dan sisa-sisa semangat demi menghabiskan 08 yang tersisa di sisa-sisa akhir kesempatan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi, eh, Sarjana Sosial dari kampus merah.

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Berdamai dengan Takdir

Sepertimu, saya hanya seorang manusia biasa. Dengan jalan hidup yang sudah ditentukan oleh-Nya. Kita menyebutnya takdir. Saya, kau, dia, dan mereka takkan pernah bisa membuatnya berubah atau bergeser sedikitpun. Ukurannya tepat tanpa bisa digugat. Beberapa tahun ini, ada takdir yang terus saya sesali keberadaannya. Terus bersedih saat mengingatnya. Seringkali menyalahkan hal lain sebagai penyebabnya. Termasuk menghukum diri dengan menganggap kesialan tak pernah punya akhir. Sekarang... saya memilih berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan takdirku juga takdirmu. Saya bukan seorang penting yang bisa membuatnya berubah. Lagipula, kalau ini takdir, bagaimana bisa saya melawannya? Yang saya bisa hanya mencoba berdamai. Mencoba menata hati yang selalu menentang hal yang tak saya sukai. Tapi, bukankah hati tak mesti selalu bahagia? Sedih, gusar, dan kepahitan hidup harus ada agar kau juga bisa menghargai nikmatnya bersenang-senang. Berdamailah... terima takdirmu. :)