Langsung ke konten utama

Pemilik 7 Februari - Mini Rasyid



Seperti yang ditulis di post sebelumnya. Ada dua saudari yang berulangtahun hari itu. Ini yang satunya lagi. Entahlah... sepertinya saya 'jodoh' berteman dengan anak 7 Februari. Ada 7 Februari lain yang minat berkenalan? bercanda! :p

Rukmini Rasyid atau @minnierasyid.

Pertama kali kenal dengannya, di PMB tingkat fakultas, waktu MABA. Merasa familiar dengannya, tapi lupa pernah lihat dimana. Ternyata, dia kakak kelas waktu SMP. Di PMB itu, dia duduk di dekat Maulana Armas, yang langsung saya pikir adalah pacarnya. Merasa iri, “Ini orang satu jurusan sama pacarnya. Tawwa!!” langsung batal suka sama Maulana Armas saat itu. Hhahaha

Selain satu sekolah waktu SMP, ternyata arah rumah kita berdekatan. Mungkin itu juga yang membuat kami dekat sampai sekarang. Perkara rumah berdekatan. Meski tak benar-benar dekat, yaaa searah trayeklah kalau dari kampus dengan dua kali pete-pete (angkot). Nah, waktu awal kuliah saya kan pulangnya tidak sama dia. Tapi, selalu ketemu kalau lagi menyeberang untuk menyambung pete-pete. Saya yang malas dekat dengan kenalan, jujur saja (:p), agak malas ketika lagi-lagi bertemu dengannya. Saya merasa sudah nyaman pulang sendiri. Di pete-pete sendiri. Diam. Berpikir. Banyak waktu untuk dimanfaatkan. Tapi, waktu mendekatkan kami dan membuat kami selalu ketemu di tengah jalan saat pulang. Tapi, dia pulang bersama Etho dengan becak, dan saya sendiri menyambung pete-pete.

Entah apa yang mengkotak-kotakkan kami sewaktu MABA. Berdirilah beberapa geng tanpa legitimasi yang jelas. Langsung saja jalan bersama, lalu merasa aneh saat satu anggotanya kurang. Ya, kami berada di geng yang sama. Tapi, tak lama. Kami membaur dengan yang lain. Tapi, dengannya saya tak pernah benar-benar berpisah. Masih saja dekat. Padahal sudah dipisahkan kelas ganjil-genap, dan kelas Jurnalistik-PR. Apa karena jarak rumah kami yang dekat? Mungkin saja… seperti intens berkumpulnya teman-teman kami yang berdomisili di sekitaran ABDESIR, Pettarani, dan sekitarnya. Atau bisa jadi karena ketertarikan kami untuk tinggal berlama-lama di kampus. Tidak langsung pulang saat kuliah usai.

Kami selalu (entah sengaja atau tidak) berada di jalan yang sama. Berada di tim yang sama waktu IHT-nya Kine KIFO. Dia Sutradara, saya Penulis Skenario. Dengan karya “Siluet”. Karya kedua kami,”Baladika 20”. Menjadi Ass.Sutradara dalam tim yang terdiri dari kakak-kakak dan teman-teman IHT lainnya. Pulang dini hari saat persiapan FUF di Hotel Clarion. Lalu, paginya saya memboncengnya kesana dan menjatuhkannya bersama motor saat hendak keluar dari parkir basement waktu pulang. -_- Selalu sekamar saat Study Tour, meski berbeda deretan kursi di bus. Sama-sama menjadi pengurus. Dia SEKUM, saya koordinator salah satu klub. Kami sama-sama insomnia. Setidaknya dia PERNAH dan saya MASIH. Ini yang membuat perkuliahan kami tak lancar. Tapi, dia tak sekacau kuliahku.

Kami sama-sama tidak KKN di pertengahan tahun kemarin, saat teman kami yang lainnya memilih KKN. Tapi, dia mengisi waktunya dengan magang. Saya mengisi waktu dengan menyesuaikan jam tidur saya dengan keadaan. Oh, iya… kami akan sama-sama KKN pertengahan semester ini. Tapi, pastilah dengan lokasi yang berbeda. Dia entah akan kemana, saya nanti entah ada dimana. Tentang kepengurusan, kami selalu sama saat pulang malam. Biasanya kami naik pete-pete bersama. Saya singgah ke rumahnya, cara aman daripada sendiri di pete-pete. Saya lalu dijemput paman saya disana. Sekarang, dia dijemput pamannya di kampus. Saya, sama dengannya. Nebeng. :D

Bagi saya (dan beberapa teman lainnya, pasti) dia ini teman yang sangat baik. Rela menguruskan KRS teman yang berhalangan. Rela mengumpulkan tugas teman yang tak sempat. Intinya, rela menyusahkan diri asal temannya aman! Cukup menghubungi dia dan menjelaskan jenis bantuan yang akan diminta tolong. Terlalu baik, menurutku. Dia punya banyak orang yang menyayanginya. Banyak saudara-saudari (kandung ini maksudnya, ya). Juga orang tua dan nenek yang sangat memperhatikannya. Dia akan segera dihubungi ketika terlambat pulang sedikit saja. Kadang dia jenuh dan muak atas itu. Tapi, ketahuilah. Saya iri... iri diperhatikan. Sebab, saya begitu bebas pulang sesuka hati. Bahkan bisa kemanapun hanya dengan 'memberi tahu' bukan 'meminta izin'. Saya juga iri, teman. Tapi, yang penting kita tahulah... begitulah cara masing-masing keluarga kita dalam menyayangi kita.

Saya keseringan sama dengannya. Kecuali, seusai kepengurusan ini. Saya lanjut mengemban tugas yang lain. Dia tidak. Dia merasa amat bersalah. Padahal, keadaan yang memang tidak memungkinkan. Lalu, kenapa harus merasa tidak enak? Saya juga bingung bagaimana menjelaskan ini padanya. Tapi, kita tak harus selalu bersama. Jalanmu dan jalanku tak mesti selalu searah, meski tujuan kita sama. :’)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Paris dan Jo

Singkat saja kali ini. Aku akan menyusul kalian. Seminar proposal. Segera. Segera, setelah bulat tekadku menghadap ibu PA cantik dan baik hatinya. Serta bapak Ketua Jurusan yang tak kalah baiknya. Ttd., Rizka dan sisa-sisa semangat demi menghabiskan 08 yang tersisa di sisa-sisa akhir kesempatan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi, eh, Sarjana Sosial dari kampus merah.

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Berdamai dengan Takdir

Sepertimu, saya hanya seorang manusia biasa. Dengan jalan hidup yang sudah ditentukan oleh-Nya. Kita menyebutnya takdir. Saya, kau, dia, dan mereka takkan pernah bisa membuatnya berubah atau bergeser sedikitpun. Ukurannya tepat tanpa bisa digugat. Beberapa tahun ini, ada takdir yang terus saya sesali keberadaannya. Terus bersedih saat mengingatnya. Seringkali menyalahkan hal lain sebagai penyebabnya. Termasuk menghukum diri dengan menganggap kesialan tak pernah punya akhir. Sekarang... saya memilih berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan takdirku juga takdirmu. Saya bukan seorang penting yang bisa membuatnya berubah. Lagipula, kalau ini takdir, bagaimana bisa saya melawannya? Yang saya bisa hanya mencoba berdamai. Mencoba menata hati yang selalu menentang hal yang tak saya sukai. Tapi, bukankah hati tak mesti selalu bahagia? Sedih, gusar, dan kepahitan hidup harus ada agar kau juga bisa menghargai nikmatnya bersenang-senang. Berdamailah... terima takdirmu. :)