Aku merindukanmu, dik!!
Tepat setelah aku melihat bocah yang mirip denganmu melintas di hadapanku. Tentu bukan wajahmu yang mirip dengannya. Tapi, bobot badan dan sifat pecicilannya membuatnya kadang kuanggap sebagai dirimu.
Dia nakal dan cerewet bukan main. Itu membuatku teringat dirimu. Teringat saat kau berusaha menarik perhatianku saat aku dengan seriusnya mengobrol dengan ayah. Kau bahkan siap memukul kepalaku dengan apa saja agar aku bersedia berbalik ke arahmu.
Dan, ketika aku meladenimu untuk bermain bersama, kau akan segera menyiksaku! Menyiksaku dengan memintaku menangkap dirimu saat kau belajar melompat. Lalu, kita tertawa bersama saat aku berhasil meraihmu. Kuyakin, ayah sangat senang melihat tingkah kita yang akrab itu.
Kuakui, aku sangat sayang padamu! Dan hadirmu, mampu meluluhkan kebekuanku pada keluargamu disana. Meski hanya meluluhkannya sedikit. Sebab aku takkan mau berdamai dengan orang-orang yang telah merebut bahagia keluargaku. Kecuali, kau.
Entahlah... Aku langsung luluh di kali pertama kita bertemu. Bahkan, saat itu kau masih bayi mungil. Bayi yang akan tersenyum tiap kali kugertak. Padahal aku sangat serius waktu menggertakmu. Sebab aku ingin menimbulkan kesan betapa bencinya aku pada orang yang menghancurkan keluarga lain demi membentuk keluarganya sendiri. Tapi, rupanya aku tak cukup jahat untuk terus menggertakmu. Aku malah meminta ayah menyerahkanmu padaku untuk kugendong. Mungkin kau memang ditakdirkan untuk meluluhkan hati setiap orang yang melihatmu.
Sampai kali terakhir kita bertemu, beberapa bulan lalu, waktu itu usiamu setahun lebih. Entah berapa tepatnya. Tubuhmu masih sangat rapuh. Itu juga yang membuatku ingat padamu tiap kali melihat bocah kecil di depan rumahku itu. Kau tetap rapuh, meski kau sudah sangat lincah berlarian kesana-kemari. Melompat-lompat kegirangan. Atau menangis dan mengadu pada ayah tanpa diketahui apa sebabnya. Aku malah sempat mengira kau penyandang autis. Sebab tingkahmu yang sangat tak tertebak. Hhe
Apa kabarmu, dik? Sungguh aku sangat merindukanmu. Tapi, tak mungkinlah aku menghampiri rumahmu lagi. Tak ada alasan untuk itu. Tak mungkin pula aku berperang melawan keluargaku yang sangat prihatin pada luka hatiku sejak bertahun-tahun lalu itu. Aku takkan melawan mereka hanya demi mengunjungi orang-orang yang melukai hati kami itu.
Entahlah... Sepertinya ucapan 'takdir Tuhan' belum cukup membuat kami mengikhlaskan segala apa yang telah terjadi. Aku belum cukup ikhlas untuk itu. Tidak sebelum aku merasakan keadilan dari ayah yang telah lupa untuk memperhatikan dua anak gadisnya.
Semoga kelak kau akan mengerti apa yang terjadi diantara kita. Dan semoga akan ada jalan dimana ada kebaikan untuk kita semua.
Salam untuk kedua kakak dan satu adikmu lagi. Sampaikan pada mereka pernyataan bahwa aku tak mampu menyayangi mereka seperti aku menyayangimu, entah karena apa. Untuk ibumu, tanyakan saja bagaimana jika saja kalian akan kehilangan ayah untuk berlabuh mencari keluarga baru lagi. Tanyakan perasaannya. Juga tanyakan apa yang akan dilakukannya. Satu lagi, tanyakan bagaimana dia bisa mengikhlaskannya. Untuk ayah, katakan bahwa aku akan selalu menyayanginya. Meski hormatku kadang luruh sebab benciku akan sikapnya beberapa tahun lalu itu. Maaf, aku pendendam. Katakan pula padanya, keadilan yang kuharap darinya. Untukmu, adik ketiga, aku menyayangimu. Dan tulisan ini untukmu. Bukan untuk menyakiti hatimu, pada beberapa bagiannya. Tapi, untuk kau mengerti mengapa tak bisa kita menunjukkan rasa sayang kita satu sama lain. Semoga ketika kelak kita berjumpa lagi, kau masih mengingat wajahku. Meski mungkin aku sudah agak tua, sedang kau masih sangat muda. Ya... Beda 17 tahun lah... Hhe
Tepat setelah aku melihat bocah yang mirip denganmu melintas di hadapanku. Tentu bukan wajahmu yang mirip dengannya. Tapi, bobot badan dan sifat pecicilannya membuatnya kadang kuanggap sebagai dirimu.
Dia nakal dan cerewet bukan main. Itu membuatku teringat dirimu. Teringat saat kau berusaha menarik perhatianku saat aku dengan seriusnya mengobrol dengan ayah. Kau bahkan siap memukul kepalaku dengan apa saja agar aku bersedia berbalik ke arahmu.
Dan, ketika aku meladenimu untuk bermain bersama, kau akan segera menyiksaku! Menyiksaku dengan memintaku menangkap dirimu saat kau belajar melompat. Lalu, kita tertawa bersama saat aku berhasil meraihmu. Kuyakin, ayah sangat senang melihat tingkah kita yang akrab itu.
Kuakui, aku sangat sayang padamu! Dan hadirmu, mampu meluluhkan kebekuanku pada keluargamu disana. Meski hanya meluluhkannya sedikit. Sebab aku takkan mau berdamai dengan orang-orang yang telah merebut bahagia keluargaku. Kecuali, kau.
Entahlah... Aku langsung luluh di kali pertama kita bertemu. Bahkan, saat itu kau masih bayi mungil. Bayi yang akan tersenyum tiap kali kugertak. Padahal aku sangat serius waktu menggertakmu. Sebab aku ingin menimbulkan kesan betapa bencinya aku pada orang yang menghancurkan keluarga lain demi membentuk keluarganya sendiri. Tapi, rupanya aku tak cukup jahat untuk terus menggertakmu. Aku malah meminta ayah menyerahkanmu padaku untuk kugendong. Mungkin kau memang ditakdirkan untuk meluluhkan hati setiap orang yang melihatmu.
Sampai kali terakhir kita bertemu, beberapa bulan lalu, waktu itu usiamu setahun lebih. Entah berapa tepatnya. Tubuhmu masih sangat rapuh. Itu juga yang membuatku ingat padamu tiap kali melihat bocah kecil di depan rumahku itu. Kau tetap rapuh, meski kau sudah sangat lincah berlarian kesana-kemari. Melompat-lompat kegirangan. Atau menangis dan mengadu pada ayah tanpa diketahui apa sebabnya. Aku malah sempat mengira kau penyandang autis. Sebab tingkahmu yang sangat tak tertebak. Hhe
Apa kabarmu, dik? Sungguh aku sangat merindukanmu. Tapi, tak mungkinlah aku menghampiri rumahmu lagi. Tak ada alasan untuk itu. Tak mungkin pula aku berperang melawan keluargaku yang sangat prihatin pada luka hatiku sejak bertahun-tahun lalu itu. Aku takkan melawan mereka hanya demi mengunjungi orang-orang yang melukai hati kami itu.
Entahlah... Sepertinya ucapan 'takdir Tuhan' belum cukup membuat kami mengikhlaskan segala apa yang telah terjadi. Aku belum cukup ikhlas untuk itu. Tidak sebelum aku merasakan keadilan dari ayah yang telah lupa untuk memperhatikan dua anak gadisnya.
Semoga kelak kau akan mengerti apa yang terjadi diantara kita. Dan semoga akan ada jalan dimana ada kebaikan untuk kita semua.
Salam untuk kedua kakak dan satu adikmu lagi. Sampaikan pada mereka pernyataan bahwa aku tak mampu menyayangi mereka seperti aku menyayangimu, entah karena apa. Untuk ibumu, tanyakan saja bagaimana jika saja kalian akan kehilangan ayah untuk berlabuh mencari keluarga baru lagi. Tanyakan perasaannya. Juga tanyakan apa yang akan dilakukannya. Satu lagi, tanyakan bagaimana dia bisa mengikhlaskannya. Untuk ayah, katakan bahwa aku akan selalu menyayanginya. Meski hormatku kadang luruh sebab benciku akan sikapnya beberapa tahun lalu itu. Maaf, aku pendendam. Katakan pula padanya, keadilan yang kuharap darinya. Untukmu, adik ketiga, aku menyayangimu. Dan tulisan ini untukmu. Bukan untuk menyakiti hatimu, pada beberapa bagiannya. Tapi, untuk kau mengerti mengapa tak bisa kita menunjukkan rasa sayang kita satu sama lain. Semoga ketika kelak kita berjumpa lagi, kau masih mengingat wajahku. Meski mungkin aku sudah agak tua, sedang kau masih sangat muda. Ya... Beda 17 tahun lah... Hhe
Komentar
Posting Komentar