Ramadhan kali ini kembali menunjukkan berkahnya. Setelah Ramadhan yang lalu, kupikir tak ada lagi berkah untuk saya. Cukup sudah saya berbahagia setahun kemarin.
Berbeda dengan perihal “dua berkah Ramadhan” kemarin. Kali ini, berkah saya adalah berbaikan dengan seorang teman. Tepat di hari ke-tujuh belas bulan suci ini. Kami berbaikan setelah tak pernah saling bicara ataupun menegur lagi sejak empat bulan lalu. Hanya karena sebuah gertakan darinya yang tak saya mengerti apa penyebabnya.
Kami, atau tepatnya saya, tak lagi menganggap ada hubungan baik diantara kami. Tiap ada dia, saya akan menghindar sejauh mungkin. Begitu pula saat teman-teman menjadikan dia sebagai topik pembicaraan, maka kali itupun saya memilih diam.
Seorang teman, yang sungguh sangat mengenal saya sejak tiga tahun kemarin, mulai menanyakan pada saya tentang hubungan kami. Katanya, sangat terlihat jelas saya berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlibat dalam dunia dia. Kukatakan padanya tentang kejelasan yang sebenarnya. Si teman malah berkata, “Pasti hanya karena masalah sepele!!”. Sekali lagi, si teman ini seperti bisa membaca semua pikiran kekanakan saya, benar-benar mengenal saya!! Ditambahkannya lagi, “Jangan menabung-nabung musuh menjelang Ramadhan!!” hha… maaf, teman… permasalahannya terjadi jauh sebelum Ramadhan. Tapi, bukan berarti saya tak berniat menyelesaikan masalah itu.
Saya pernah menceritakan tentang hubungan yang tak lagi baik itu ke seorang teman, yang juga kuanggap kakak. Katanya, memaafkan itu lebih melegakan daripada menunggu orang untuk meminta maaf pada kita. Dan, kalimat itu baru terasa benarnya sekarang. Saat berbaikan dengan teman itu. Sungguh, sangat menyesal!!
Kami berbaikan dan bukan saya yang memulai. Sungguh jahat rasanya!! Ternyata saya sungguh bukan orang sebaik yang saya kira. Dulu, saya berpikir telah menjadi orang sebaik yang saya bisa. Ternyata, saya bisa, tapi tak berusaha untuk menjadi baik.
Bisa kubayangkan, betapa seorang teman yang sudah tak kugubris lagi sejak empat bulan kemarin, tak pernah menganggap ada yang tak beres dengan hubungan kami. Mungkin, baginya saya hanya “sedikit bermasalah” lalu menjauhinya.
Ini kutahu dari seorang teman. Saat seorang teman lain berinisiatif untuk menanyakan langsung pada si teman tentang ketidakberesan hubungan kami, si teman menjawab “Tidak ada apa-apa.” Atau “Baik-baik saja.”… Maaf… Tidak seharusnya saya hanya “berharap dimintai maaf” sedang kemungkinan besar saya juga bersalah pada si teman tadi.
Saya bisa melihat dia mendekat ke saya sore tadi. Tadinya, kupikir dia mendekat untuk berbicara dengan seorang teman yang kebetulan sedang ada di samping saya. Jadi, kualihkan pandangan ke arah lain. Sebab tak ingin terlibat dengan pembicaraan mereka. Entah karena alasan apa, dia malah mengulurkan tangannya pada saya. Tanpa kata. Kutahu dia tahu saya mengerti apa yang dia pikirkan. Kusambut uluran tangan itu, berjabatan tangan dengannya, dan tersenyum sebisa mungkin diantara segala keterkejutan dan bahagia tak terkira sebab telah berbaikan lagi dengannya.
Terimakasih, teman. Kali ini, usia mungkin saja menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang. Saya sungguh kekanakan mengira gertakan dari teman yang lebih tua dari saya, yang sudah kuanggap kakak sendiri, sebagai gertakan karena tak suka dengan kehadiran saya. Maaf… malah mengharapmu meminta maaf. Sungguh menyesal rasanya menyimpan beban itu selama empat bulan. Semoga saya tak kehilangan kesempatan mencium wangi surga yang katanya tak akan tercium lagi bagi orang yang bermusuhan selama lebih dari tiga hari. Sedang saya? Empat bulan lebih!! Maaf membiarkannya berlarut-larut, teman.
Andainya saya tak kekanakan seperti ini, tak berpikiran sempit seperti ini, akan kuselesaikan masalah kita hari itu juga. Tanpa membiarkan selama tiga hari setelahnya kesehatanku memburuk karena tertekan memikirkan hubungan kita yang memburuk saat itu. Tanpa membiarkan kau berlalu-lalang di hadapanku tanpa saya sempat menyapa, menegur, atau bahkan memberimu senyum barang sedikitpun.
Maaf, teman… semoga ini menjadi permulaan yang baik bagi kita. Terimakasih menjadikanku temanmu lagi. Terimakasih mengurangi ‘tabungan musuhku’. Maaf… untuk segala hal yang mungkin menyakiti saat saya pernah tidak mengacuhkanmu. Kau tahulah semua hal yang tak mungkin saya ungkapkan lagi. Sebab, tak ada kata lagi yang mampu saya berikan. Seperti dengan kebisuan saat kita berjabat-tangan tadi. Ternyata, tak punya musuh sungguh sangat menyenangkan!! Terimakasih, teman!!^^
Berbeda dengan perihal “dua berkah Ramadhan” kemarin. Kali ini, berkah saya adalah berbaikan dengan seorang teman. Tepat di hari ke-tujuh belas bulan suci ini. Kami berbaikan setelah tak pernah saling bicara ataupun menegur lagi sejak empat bulan lalu. Hanya karena sebuah gertakan darinya yang tak saya mengerti apa penyebabnya.
Kami, atau tepatnya saya, tak lagi menganggap ada hubungan baik diantara kami. Tiap ada dia, saya akan menghindar sejauh mungkin. Begitu pula saat teman-teman menjadikan dia sebagai topik pembicaraan, maka kali itupun saya memilih diam.
Seorang teman, yang sungguh sangat mengenal saya sejak tiga tahun kemarin, mulai menanyakan pada saya tentang hubungan kami. Katanya, sangat terlihat jelas saya berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlibat dalam dunia dia. Kukatakan padanya tentang kejelasan yang sebenarnya. Si teman malah berkata, “Pasti hanya karena masalah sepele!!”. Sekali lagi, si teman ini seperti bisa membaca semua pikiran kekanakan saya, benar-benar mengenal saya!! Ditambahkannya lagi, “Jangan menabung-nabung musuh menjelang Ramadhan!!” hha… maaf, teman… permasalahannya terjadi jauh sebelum Ramadhan. Tapi, bukan berarti saya tak berniat menyelesaikan masalah itu.
Saya pernah menceritakan tentang hubungan yang tak lagi baik itu ke seorang teman, yang juga kuanggap kakak. Katanya, memaafkan itu lebih melegakan daripada menunggu orang untuk meminta maaf pada kita. Dan, kalimat itu baru terasa benarnya sekarang. Saat berbaikan dengan teman itu. Sungguh, sangat menyesal!!
Kami berbaikan dan bukan saya yang memulai. Sungguh jahat rasanya!! Ternyata saya sungguh bukan orang sebaik yang saya kira. Dulu, saya berpikir telah menjadi orang sebaik yang saya bisa. Ternyata, saya bisa, tapi tak berusaha untuk menjadi baik.
Bisa kubayangkan, betapa seorang teman yang sudah tak kugubris lagi sejak empat bulan kemarin, tak pernah menganggap ada yang tak beres dengan hubungan kami. Mungkin, baginya saya hanya “sedikit bermasalah” lalu menjauhinya.
Ini kutahu dari seorang teman. Saat seorang teman lain berinisiatif untuk menanyakan langsung pada si teman tentang ketidakberesan hubungan kami, si teman menjawab “Tidak ada apa-apa.” Atau “Baik-baik saja.”… Maaf… Tidak seharusnya saya hanya “berharap dimintai maaf” sedang kemungkinan besar saya juga bersalah pada si teman tadi.
Saya bisa melihat dia mendekat ke saya sore tadi. Tadinya, kupikir dia mendekat untuk berbicara dengan seorang teman yang kebetulan sedang ada di samping saya. Jadi, kualihkan pandangan ke arah lain. Sebab tak ingin terlibat dengan pembicaraan mereka. Entah karena alasan apa, dia malah mengulurkan tangannya pada saya. Tanpa kata. Kutahu dia tahu saya mengerti apa yang dia pikirkan. Kusambut uluran tangan itu, berjabatan tangan dengannya, dan tersenyum sebisa mungkin diantara segala keterkejutan dan bahagia tak terkira sebab telah berbaikan lagi dengannya.
Terimakasih, teman. Kali ini, usia mungkin saja menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang. Saya sungguh kekanakan mengira gertakan dari teman yang lebih tua dari saya, yang sudah kuanggap kakak sendiri, sebagai gertakan karena tak suka dengan kehadiran saya. Maaf… malah mengharapmu meminta maaf. Sungguh menyesal rasanya menyimpan beban itu selama empat bulan. Semoga saya tak kehilangan kesempatan mencium wangi surga yang katanya tak akan tercium lagi bagi orang yang bermusuhan selama lebih dari tiga hari. Sedang saya? Empat bulan lebih!! Maaf membiarkannya berlarut-larut, teman.
Andainya saya tak kekanakan seperti ini, tak berpikiran sempit seperti ini, akan kuselesaikan masalah kita hari itu juga. Tanpa membiarkan selama tiga hari setelahnya kesehatanku memburuk karena tertekan memikirkan hubungan kita yang memburuk saat itu. Tanpa membiarkan kau berlalu-lalang di hadapanku tanpa saya sempat menyapa, menegur, atau bahkan memberimu senyum barang sedikitpun.
Maaf, teman… semoga ini menjadi permulaan yang baik bagi kita. Terimakasih menjadikanku temanmu lagi. Terimakasih mengurangi ‘tabungan musuhku’. Maaf… untuk segala hal yang mungkin menyakiti saat saya pernah tidak mengacuhkanmu. Kau tahulah semua hal yang tak mungkin saya ungkapkan lagi. Sebab, tak ada kata lagi yang mampu saya berikan. Seperti dengan kebisuan saat kita berjabat-tangan tadi. Ternyata, tak punya musuh sungguh sangat menyenangkan!! Terimakasih, teman!!^^
ternyata banyak juga jenis tabunganta' di' selain tabungan air mata
BalasHapusiyahhh.. baru tabungan 'yang sebenarnya' tidak ada!!
BalasHapusboros!! hha