Langsung ke konten utama

Korban-korban Kecerobohan dan Ketidakstabilan Emosi (1)

Setiap orang memiliki sisi jahat. Diantaranya, memiliki korban-korban atas perbuatan tidak terpujinya. Kali ini, saya ingin mengakuinya... :'(
Berikut ini adalah korban-korban saya. Korban atas kecerobohan dan ketidak stabilan emosi saya... :'(


Nokia 2300

Benda pertama yang menjadi korban saya. Indikasi kerusakan pertama: slot headset-nya tidak berfungsi. Padahal, saya bertahan dengannya karena bisa dipakai mendengar siaran radio. Kemungkinan rusak karena sering terjatuh secara tidak sengaja. Hal lain yang memastikan dia bisa rusak, seringkali saya melemparnya untuk melampiaskan emosi saya. Kasihan... :'(



LG KG270

Benda ini dibeli oleh ibu saya dengan niat ingin menggunakannya sendiri. Tapi, setelah saya memohon untuk ditukarkan dengan punya saya yang diatas, ibu saya mengalah dan memberikannya ke tangan yang tidak bertanggungjawab ini. Keistimewaannya dari yang di atas, yang ini layarnya berwarna-warni. Tetap ada radionya.

Indikasi kerusakannya, saat saya menelepon atau menerima telepon, suara dari orang yang saya telepon atau menelepon saya itu tak terdengar. Jadinya, saya harus menggunakan fungsi loadspeaker-nya agar kegiatan telepon-menelepon itu bisa berjalan dengan baik. Yang membuat tidak nyaman, adalah saat pulsa pas-pasan dan saya harus menelepon. Untuk menelepon saya harus loadspeaker dulu. Dan itu berarti, kalimat "Pulsa kartu prabayar Anda, akan segera habis..." akan terdengar dengan jelas. Bayangkan kalau itu harus dilakukan di depan umum!! X(

Saat sedang menelepon pun sungguh sangat mengganggu. Saya teringat ketika seorang teman saat itu bercerita tentang masalah-masalahnya. Sedang saya harus me-loadspeaker pembicaraan kami itu. Dan kejadian itu berlangsung saat saya sedang di rumah. Didengarlah pembicaraan kami itu oleh orang serumah. :(

Oh, iya... ada headset untuk membantu. Saya gunakan sesekali sebab saya selalu lupa meletakkannya dimana. Lama kelamaan, headset-nya rusak. Dan saat itu sangat sulit menemukan headset dengan model seperti itu.



*Terlalu panjang, korban selanjutnya ada di tulisan berikutnya... :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Paris dan Jo

Singkat saja kali ini. Aku akan menyusul kalian. Seminar proposal. Segera. Segera, setelah bulat tekadku menghadap ibu PA cantik dan baik hatinya. Serta bapak Ketua Jurusan yang tak kalah baiknya. Ttd., Rizka dan sisa-sisa semangat demi menghabiskan 08 yang tersisa di sisa-sisa akhir kesempatan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi, eh, Sarjana Sosial dari kampus merah.

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Berdamai dengan Takdir

Sepertimu, saya hanya seorang manusia biasa. Dengan jalan hidup yang sudah ditentukan oleh-Nya. Kita menyebutnya takdir. Saya, kau, dia, dan mereka takkan pernah bisa membuatnya berubah atau bergeser sedikitpun. Ukurannya tepat tanpa bisa digugat. Beberapa tahun ini, ada takdir yang terus saya sesali keberadaannya. Terus bersedih saat mengingatnya. Seringkali menyalahkan hal lain sebagai penyebabnya. Termasuk menghukum diri dengan menganggap kesialan tak pernah punya akhir. Sekarang... saya memilih berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan takdirku juga takdirmu. Saya bukan seorang penting yang bisa membuatnya berubah. Lagipula, kalau ini takdir, bagaimana bisa saya melawannya? Yang saya bisa hanya mencoba berdamai. Mencoba menata hati yang selalu menentang hal yang tak saya sukai. Tapi, bukankah hati tak mesti selalu bahagia? Sedih, gusar, dan kepahitan hidup harus ada agar kau juga bisa menghargai nikmatnya bersenang-senang. Berdamailah... terima takdirmu. :)