Langsung ke konten utama

Tiga Pertemuan (Masih Tanpa Nama)

Kita memang belum kenal baik
Hanya sempat mengobrol di pertemuan pertama kita
Sedikit mengobrol tentang temanku itu
Meski menyebalkan,
tetap kutanggapi basa-basi itu dengan bersemangat,
Dengan perasaan yang masih aneh berbicara dengan orang asing
Kau sempat menyebutkan namamu saat itu
Tapi, maafkan saya karna akhirnya lupa nama yang kau sebutkan :D

Yang kedua...
Maaf, jika tidak kupedulikan kehadiranmu
Sebab masih ragu itu dirimu yang kemarin
Baru sadar itu dirimu saat kau beranjak pergi :D
Padahal, sebelum pertemuan kedua itu,
selalu ada rasa waswas akan bertemu denganmu
Waswas sebab tak tahu harus bersikap seperti apa
Sedang kau sudah memintaku untuk bersikap baik padamu
Baik yg bagaimana??
Pada akhirnya saya hanya bersikap
seolah-olah tidak mengenalimu
Padahal kita sempat bertatapan saat itu -_-
Toh kau juga tidak menegurku :P

Yang ketiga...
Izinkan saya tertawa dulu... :D
Menurutku ini sangat lucu!! :P
Saat itu, saya sedang berusaha menghubungi seorang teman
Sambil menunggu terhubung dengan si teman
Tiba-tiba kau muncul di hadapanku
Berjalan ke arah yang berbeda denganku
Kita berpapasan
Saya hanya sempat tersenyum
dan sedikit menundukkan kepalaku,
seperti saat menyapa temanku yang lain

Saat itu, dalam pikiranku hanya ada satu hal
Menjauh sebisa mungkin agar tidak bertemu denganmu lagi
Entah kenapa terpaksa seperti itu
Tapi... nyatanya tak bisa seperti itu
Teman yang kuhubungi tadi berada pada arah yang tadi
Arah yang kujauhi sebelum dan setelah bertemu denganmu
Jadinya, saya harus berbalik arah
Arah yang memungkinkanku untuk bertemu denganmu lagi
Dan... entah kenapa kau juga berbalik arah
Ingin tertawa, sebenarnya... :D
Tapi, saya lebih memilih sibuk dengan teleponku
daripada harus menoleh dan menyapamu lagi
Maaf... :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Paris dan Jo

Singkat saja kali ini. Aku akan menyusul kalian. Seminar proposal. Segera. Segera, setelah bulat tekadku menghadap ibu PA cantik dan baik hatinya. Serta bapak Ketua Jurusan yang tak kalah baiknya. Ttd., Rizka dan sisa-sisa semangat demi menghabiskan 08 yang tersisa di sisa-sisa akhir kesempatan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi, eh, Sarjana Sosial dari kampus merah.

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Berdamai dengan Takdir

Sepertimu, saya hanya seorang manusia biasa. Dengan jalan hidup yang sudah ditentukan oleh-Nya. Kita menyebutnya takdir. Saya, kau, dia, dan mereka takkan pernah bisa membuatnya berubah atau bergeser sedikitpun. Ukurannya tepat tanpa bisa digugat. Beberapa tahun ini, ada takdir yang terus saya sesali keberadaannya. Terus bersedih saat mengingatnya. Seringkali menyalahkan hal lain sebagai penyebabnya. Termasuk menghukum diri dengan menganggap kesialan tak pernah punya akhir. Sekarang... saya memilih berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan takdirku juga takdirmu. Saya bukan seorang penting yang bisa membuatnya berubah. Lagipula, kalau ini takdir, bagaimana bisa saya melawannya? Yang saya bisa hanya mencoba berdamai. Mencoba menata hati yang selalu menentang hal yang tak saya sukai. Tapi, bukankah hati tak mesti selalu bahagia? Sedih, gusar, dan kepahitan hidup harus ada agar kau juga bisa menghargai nikmatnya bersenang-senang. Berdamailah... terima takdirmu. :)