Langsung ke konten utama

Somba Opu VS Penjajah Masa Kini.

Somba Opu, benteng peninggalan sejarah yang akan segera dirubuhkan oleh para penjajah masa kini. Untuk apa? Waterboom, taman burung, taman gajah, apalagi? Bungalow? Penginapan menarik lainnya?
Ah, rasanya tak perlu memanggil Belanda untuk menjajah kita kembali. Orang kita sendiri yang akan menghancurkan kita dari dalam. Mau nangis rasanya. Tapi, itu tak pernah cukup membuat mereka sadar. Dan, saya paling sedih waktu melihat gambar ini:



*Lihat pagar kayu itu?
Saya paling ingat itu di Somba Opu. Sulit membayangkan saja keadaan rumah adat disana nanti. Padahal, dari tempat itu kita bisa mengetahui budaya Sulawesi Selatan lebih jauh. Tapi, kenapa ini tidak juga meluluhkan hati para penjajah itu yak?! Mungkin, memang benar benteng itu kurang diminati wisatawan. Tapi, kenapa bukan itu saja yang menjadi fokus perhatian mereka? Memperbaiki sarana dan prasarana-nya, misalnya. Atau, membuat kegiatan yang bisa menarik pengunjung. -_-

Memang iya, saya belum sempat melihat langsung keadaan disana. Tapi, melihat foto-foto yang diupload orang-orang di facebook, rasanya tak sanggup lagi saya kesana. Takut hanya menangis meraung-raung disana. Atau... Apa perlu pakai cara berdiri di depan bulldozer seperti Rachel Corrie???

Tempat itu akan disulap jadi tempat wisata modern. Argh!! Semakin menyebalkan saja!! Membayangkan bagaimana nanti, ketika anak-cucu kita kelak menanyakan tempat wisata budaya jaman dulu. Masa hanya bilang, "Dulu itu begini, nak!"; "Ini fotonya waktu dulu..."; "Dulu...dulu...dulu..."
Padahal akan terasa lebih menarik kalau langsung kesana. Melihat bangunannya yang nyata. Bukan dari foto, bukan dari cerita saja.

Tapi... akhirnya saya hanya menjadi pengecut tak berguna. Telat tahu informasi tentang penjajahan di kota sendiri. Mereka toh hanya penjajah buta dan tuli. Tak pernah menanggapi keinginan rakyat. Lalu, untuk apa mewakili kami??? Yang ada... kalian hanya mewakili hasrat kalian sendiri. Mengatasnamakan kemajuan daerah. Metropolitan?? Matrepolitan, sana!!

Pantai Losari-ku... Karebossi-ku... Benteng Somba Opu-ku... Apalagi??
Kenapa tidak kalian kosongkan saja kota ini dari semua peninggalan sejarah?! Buat gedung-gedung tinggi tohhh... Fly over dimanapun kalian mau. Mall-mall yang berserakan dimana-mana, padahal orang-orang yang ke mall itu-itu saja. Pokoknya apa saja yang bisa membuat lahan 'sedikit kosong' menjadi terisi dan menguntungkan. Hhahahahaha

Biar dikutuk saja negara ini. Dikutuk saling menjajah di negara sendiri. Hidup, Penjajah!!!!!!!!!

Komentar

  1. mari ikut isi petisi onlinenya di http://savebentengsombaopu.com/petisi-online/

    salam

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Paris dan Jo

Singkat saja kali ini. Aku akan menyusul kalian. Seminar proposal. Segera. Segera, setelah bulat tekadku menghadap ibu PA cantik dan baik hatinya. Serta bapak Ketua Jurusan yang tak kalah baiknya. Ttd., Rizka dan sisa-sisa semangat demi menghabiskan 08 yang tersisa di sisa-sisa akhir kesempatan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi, eh, Sarjana Sosial dari kampus merah.

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Berdamai dengan Takdir

Sepertimu, saya hanya seorang manusia biasa. Dengan jalan hidup yang sudah ditentukan oleh-Nya. Kita menyebutnya takdir. Saya, kau, dia, dan mereka takkan pernah bisa membuatnya berubah atau bergeser sedikitpun. Ukurannya tepat tanpa bisa digugat. Beberapa tahun ini, ada takdir yang terus saya sesali keberadaannya. Terus bersedih saat mengingatnya. Seringkali menyalahkan hal lain sebagai penyebabnya. Termasuk menghukum diri dengan menganggap kesialan tak pernah punya akhir. Sekarang... saya memilih berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan takdirku juga takdirmu. Saya bukan seorang penting yang bisa membuatnya berubah. Lagipula, kalau ini takdir, bagaimana bisa saya melawannya? Yang saya bisa hanya mencoba berdamai. Mencoba menata hati yang selalu menentang hal yang tak saya sukai. Tapi, bukankah hati tak mesti selalu bahagia? Sedih, gusar, dan kepahitan hidup harus ada agar kau juga bisa menghargai nikmatnya bersenang-senang. Berdamailah... terima takdirmu. :)