Dia tak lagi ingat, betapa saat dia menghilang dua hari saja, duniamu seolah terbalik. Kau hidup tapi tak tahu mesti berbuat apa. Kau hanya bisa diam. Lalu, sehari sebelum kau bertemu muka dengannya, dia datang melalui suaranya. Masihkah kau ingat senyum yang tak bisa kau sembunyikan waktu itu? Kau sungguh bahagia. Setidaknya kau tahu dia baik-baik saja. "Kenapa diam?" tanyamu padanya saat kau hanya bisa mendengar desau nafasnya. Tanpa kau melanjutkan kalimat, "Masih ingin aku mendengar suaramu." dia menjawab, "Saya sedang mengerjakan sesuatu." Oh, ternyata dia sedang sibuk saat itu. Tak apa. Asalkan dia tak kekurangan sesuatu apapun.
Selang beberapa saat, dia datang kemudian. Dan, kau hanya bisa menghindar. Kenapa? Karena kau hanya sangat merindukannya. Dan, terlalu takut kau tak mampu mengendalikan rasa ingin bersamanya lagi. Dia datang. Tanpa pernah tahu betapa kau ingin segera berlari memeluknya tanpa membiarkan dia pergi lagi. Kalian bersama lagi. Dalam diam. Tanpa berani mengungkapkan betapa leganya rindu yang sudah terobati.
Di lain waktu, sesuatu membuatmu harus pergi meninggalkannya. Juga dalam waktu dua hari. Hari-hari yang terasa begitu berat. Sampai kau tak berani kembali pulang. Hanya dengan membayangkan, "Bagaimana jika aku harus benar-benar berpisah dengannya? Dalam waktu yang sangat lama, tanpa bisa kembali bersama lagi. Apa jadinya nanti jika hariku tanpanya? Masihkah bisa aku bernafas dengan normal, tanpa perlu merasa tempo detak jantungku melambat saat terlalu sesak oleh rasa entah apa?" Kau perlu dua jam untuk meyakinkan diri kembali padanya. Waktu yang sungguh membuatmu tertekan tanpa kau tahu harus berbuat apa.
Dua jam perjalanan, kau memilih pulang kepadanya. Menghabiskan waktumu dengannya lagi. Dan, ingatkah kau senyumnya saat itu? Senyum yang kau tahu hanya untukmu. Melihatnya, kau jadi sangat girang. Sampai kau berani memutuskan bersamanya selama yang dia mau. Kau bukan pembaca pikiran. Pun tak bisa menebak rasa. Anehnya, kau bisa tahu dia masih ingin bersamamu ataupun tidak. Kau bisa tahu itu hanya dengan melihatnya tersenyum dan menatapmu. Dia memberimu senyumannya itu saat kau pulang. Lalu, bagaimana lagi kau bisa pergi dan meninggalkannya? Senyum itu lebih kuat dari gravitasi yang memaksamu menjejaki bumi. Senyumnya memaksamu menjejaki bumi yang berdekatan dengannya.
Suatu hari... senyumnya yang kau tahu hanya untukmu, menghilang. Dia tak sedang bersedih. Kau tahu itu. Dia masih tersenyum. Senyum yang tak sama lagi dan jelas bukan hanya untukmu. Kau tahu, tak lama lagi kau akan kehilangannya. Dan, beberapa menit sebelum dia meninggalkanmu, kau masih bisa menatap lekat punggungnya. Menyimpan jejak terakhir dirinya di matamu. Jejak saat kau masih merasa memilikinya. Saat dia hanya untukmu. Kau... mulai menangisinya. Sebab kau tahu, sebentar lagi pemilik punggung itu akan berpindah hati.
Kau bisa saja menahannya tetap bersamamu. Mencengkram bahunya. Memeluknya tepat dari posisimu saat itu. Tapi, kau tahu... tak akan kau bahagia bersamanya, jika hatinya tak lagi untukmu. Kau hanya akan melihatnya tersiksa jika saja dia tak memiliki apa yang diinginkan hatinya. Lalu, bagaimana mungkin kalian bisa bahagia bersama? Tak mudah untuk melepasnya. Juga sulit untuk tak memberinya jalan sesuka yang hatinya inginkan. Kau bisa menggenggamnya bersamamu. Tapi, tidak hatinya yang memilih hati yang lain untuk bersinggah lagi. Mungkin hanya sebentar. Mungkin juga untuk selamanya. Tapi, kau tahu, saat kau merelakannya pergi, saat itulah kau tak lagi berharap dia pulang padamu. Kau rindu, tapi tak untuk memintanya kembali.:)
Saat kau sedang sangat rindu
Tanpa berharap lagi kembali bersamanya
193 hari tanpanya dan kau masih hidup
Kau tahu kau bisa, meski bukan dengannya
Komentar
Posting Komentar