Langsung ke konten utama

Hanya Rindu, Bukan Ingin Kembali


Dia tak lagi ingat, betapa saat dia menghilang dua hari saja, duniamu seolah terbalik. Kau hidup tapi tak tahu mesti berbuat apa. Kau hanya bisa diam. Lalu, sehari sebelum kau bertemu muka dengannya, dia datang melalui suaranya. Masihkah kau ingat senyum yang tak bisa kau sembunyikan waktu itu? Kau sungguh bahagia. Setidaknya kau tahu dia baik-baik saja. "Kenapa diam?" tanyamu padanya saat kau hanya bisa mendengar desau nafasnya. Tanpa kau melanjutkan kalimat, "Masih ingin aku mendengar suaramu." dia menjawab, "Saya sedang mengerjakan sesuatu." Oh, ternyata dia sedang sibuk saat itu. Tak apa. Asalkan dia tak kekurangan sesuatu apapun.

Selang beberapa saat, dia datang kemudian. Dan, kau hanya bisa menghindar. Kenapa? Karena kau hanya sangat merindukannya. Dan, terlalu takut kau tak mampu mengendalikan rasa ingin bersamanya lagi. Dia datang. Tanpa pernah tahu betapa kau ingin segera berlari memeluknya tanpa membiarkan dia pergi lagi. Kalian bersama lagi. Dalam diam. Tanpa berani mengungkapkan betapa leganya rindu yang sudah terobati.

Di lain waktu, sesuatu membuatmu harus pergi meninggalkannya. Juga dalam waktu dua hari. Hari-hari yang terasa begitu berat. Sampai kau tak berani kembali pulang. Hanya dengan membayangkan, "Bagaimana jika aku harus benar-benar berpisah dengannya? Dalam waktu yang sangat lama, tanpa bisa kembali bersama lagi. Apa jadinya nanti jika hariku tanpanya? Masihkah bisa aku bernafas dengan normal, tanpa perlu merasa tempo detak jantungku melambat saat terlalu sesak oleh rasa entah apa?" Kau perlu dua jam untuk meyakinkan diri kembali padanya. Waktu yang sungguh membuatmu tertekan tanpa kau tahu harus berbuat apa.

Dua jam perjalanan, kau memilih pulang kepadanya. Menghabiskan waktumu dengannya lagi. Dan, ingatkah kau senyumnya saat itu? Senyum yang kau tahu hanya untukmu. Melihatnya, kau jadi sangat girang. Sampai kau berani memutuskan bersamanya selama yang dia mau. Kau bukan pembaca pikiran. Pun tak bisa menebak rasa. Anehnya, kau bisa tahu dia masih ingin bersamamu ataupun tidak. Kau bisa tahu itu hanya dengan melihatnya tersenyum dan menatapmu. Dia memberimu senyumannya itu saat kau pulang. Lalu, bagaimana lagi kau bisa pergi dan meninggalkannya? Senyum itu lebih kuat dari gravitasi yang memaksamu menjejaki bumi. Senyumnya memaksamu menjejaki bumi yang berdekatan dengannya.

Suatu hari... senyumnya yang kau tahu hanya untukmu, menghilang. Dia tak sedang bersedih. Kau tahu itu. Dia masih tersenyum. Senyum yang tak sama lagi dan jelas bukan hanya untukmu. Kau tahu, tak lama lagi kau akan kehilangannya. Dan, beberapa menit sebelum dia meninggalkanmu, kau masih bisa menatap lekat punggungnya. Menyimpan jejak terakhir dirinya di matamu. Jejak saat kau masih merasa memilikinya. Saat dia hanya untukmu. Kau... mulai menangisinya. Sebab kau tahu, sebentar lagi pemilik punggung itu akan berpindah hati.

Kau bisa saja menahannya tetap bersamamu. Mencengkram bahunya. Memeluknya tepat dari posisimu saat itu. Tapi, kau tahu... tak akan kau bahagia bersamanya, jika hatinya tak lagi untukmu. Kau hanya akan melihatnya tersiksa jika saja dia tak memiliki apa yang diinginkan hatinya. Lalu, bagaimana mungkin kalian bisa bahagia bersama? Tak mudah untuk melepasnya. Juga sulit untuk tak memberinya jalan sesuka yang hatinya inginkan. Kau bisa menggenggamnya bersamamu. Tapi, tidak hatinya yang memilih hati yang lain untuk bersinggah lagi. Mungkin hanya sebentar. Mungkin juga untuk selamanya. Tapi, kau tahu, saat kau merelakannya pergi, saat itulah kau tak lagi berharap dia pulang padamu. Kau rindu, tapi tak untuk memintanya kembali.:)


Saat kau sedang sangat rindu
Tanpa berharap lagi kembali bersamanya
193 hari tanpanya dan kau masih hidup
Kau tahu kau bisa, meski bukan dengannya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Apa Mimpimu?"

Banyak yang bertanya, "Apa masalahmu sampai lama begini kelar kuliahnya?" Yakin mau tahu? Karena jujur saja, saya sendiri tak banyak berpikir soal itu. Atau lebih tepatnya, saya tak banyak berpikir lagi selama tiga tahun belakangan. Kalau hidup ini bagaikan aliran sungai yang bermuara entah kemana, maka saya sudah hanyut di dalamnya. Tanpa sedikitpun usaha untuk memilih hendak bersinggah kemana. Saya punya seorang teman, yang sebenarnya bisa disebut motivator dan memahami psikologi seseorang. Satu waktu dia menanyakan satu hal yang kemudian menjerat kami dalam pembicaraan panjang dan dalam. Dari sini saya juga tersadar, kau tidak akan teringat kalau kau sudah melupakan sesuatu kalau tak ada yang menanyakannya. "Apa mimpimu?" Saya sendiri tak lagi mengandalkan mimpi untuk membuat hidupku bertahan. Sebut saja dia sudah hancur. Saya tak punya tujuan, dan ini serius. Saya pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Lalu dia menghilang dengan sendirinya. Saya juga ta

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Bahagianya adalah Bahagiamu??

I would rather hurt myself than to ever make you cry... potongan lirik Air Supply (Good Bye) yang saya tampilkan di salah satu akun jejaring sosial saya, rupanya menarik perhatian seorang teman. Si teman ini adalah satu dari beberapa teman yang lumayan dekat dengan saya. Saya punya beberapa teman yang hubungan saya dengannya setingkat di atas teman biasa. Disebut sahabat, tidak juga... sebab tak semua masalah bisa saya bagi dengan mereka. Hanya sekedar menjelaskan bahwa kejiwaan saya sedang terusik oleh adanya sebuah masalah. Tidak pernah secara detail menjelaskan masalah pribadi, semisalnya dengan kalimat panjang lebar hingga mereka merasa seolah ikut merasakan apa yang saya alami. Hubungan pertemanan ini, selanjutnya disebut persaudaraan (saya menganggapnya seperti itu), dalam prosesnya terjadi dengan saling memperhatikan satu sama lain. Mulai dari masalah makan, kalau mereka tak melihatmu makan seharian. Atau, menuduhmu tidak tidur seharian hanya karena kau tak bersemangat menjalan