Langsung ke konten utama

Makassar yang Tidak Kasar

Makassar yang Tidak Kasar

Kira-kira begitu nama sebuah group di facebook. Entah untuk apa pencetusnya membuat itu. Mungkin, karena ketidaksukaannya pada orang Makassar yang kasar, atau dia adalah orang Makassar yang sama sekali tidak kasar, entahlah.

Tentang Makassar dan 'kasar'...
Beberapa orang menyimpulkan bahwa orang-orang Makassar itu, rata-rata kasar semua. Sama seperti menyimpulkan bahwa orang Jawa bersikap lemah-lembut semarah apapun dia, atau orang Batak yang juga kasar. Saya tidak bermaksud rasis disini. Tapi, begitulah beberapa orang menyimpulkan. Saya sangat percaya, latar belakang daerah asal seseorang sama sekali tidak terlibat dengan sikap dan perilakunya. Jadi, jelas saya tidak membenarkan kaitan erat Makassar dengan kasarnya itu, hanya dengan menyangkutpautkan kata kasar yang terdengar sekilas saat kita mendengar kata Makassar. Malah, seseorang sempat berkata, "Lihat, dari namanya saja sudah ada kasarnya!" Begitu kata seseorang, jujur sangat menyakiti hati saya sebagai orang Makassar asli.

Saya memang kasar dalam beberapa hal, tidak pernah bisa bersikap lemah lembut dalam melakukan beberapa hal tersebut. Ingin menyebutku kasar? Silakan! Tapi, tolong jangan sangkutpautkan Makassar! Ini sama sekali tak ada hubungannya dengan kotaku ini!

Tentang seseorang yang sempat saya singgung di atas tadi. Dia mengatakan itu tepat di hadapanku. Dan walaupun kata-kata itu sudah berbulan-bulan yang lalu dikatakannya, tetap saja kalimat itu terngiang sampai saya menjadi sangat ingin menuliskannya disini.

Hei, ingin rasanya saya membuatmu sadar. Kau pendatang disini! Kau bukan orang asli sini! Jadi, tak sepantasnyalah kau mengatakan itu pada kota yang hingga bertahun-tahun yang akan datang akan menjadi tempat bersinggahmu. Mungkin, kau perlu menghargai kota ini sedikit saja. Tak perlu menghargai yang berlebihan, misalnya dengan memuji-muji kemajuan pembangunannya yang mungkin agak sedikit lebih dari kotamu. Kau hanya perlu tidak memperburuk suasana dengan tidak menjelekkannya dengan lantang di telinga seseorang yang sejak lahir sudah menjalani hidupnya di kota ini.

Masih ingat pepatah ini?
Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung

Saya tidak perlu mengingatkanmu untuk tahu arti dari pepatah ini, kurang lebih seperti ini, bahwa kita haruslah mengikuti/menghormati adat istiadat tempat tinggal kita atau tempat yang kita diami.
Saya tidak memintamu untuk mengikuti adat istiadat tabe' atau yang lain sebagainya. Saya hanya memintamu untuk sedikit menghargai kota ini. Jika ingin menghormatinya, alhamdulillah kalau begitu. Tolong... Saya hanya tidak ingin rasa benciku terhadapmu semakin bertambah jika masalah ras ini ikut menjadi pemicunya. Maaf, jika sikapmu mungkin tak baik atau juga kasar. Tapi, tolong jangan sekali-kali melibatkan kotaku ini.

Saya mencintainya. Mencintai kota yang sudah 19 tahun lebih selalu menjadi tempat pulangku. Dan hanya kutinggalkan selama beberapa hari (paling lama).
Maka dari itu, saya selalu bertanya ada orang sepertimu, teman-teman yang datang kesini, "Apa yang menarik kalian kesini?"
Pertanyaan itu tak lebih dari niat berterimakasihku karena kalian mungkin memiliki beberapa pemikiran untuk mendatanginya. Entah pemikiran apa itu. Apapun itu, pemikiran itu membuatku bangga terlahir di kota yang mendatangkan banyak orang dari daerah asal yang berbeda untuk kesini. Sengaja ataupun tak sengaja.
Tapi, jika kau datang hanya untuk mengatakan hal yang buruk tentang kota-ku, mungkin sebaiknya kau pulang saja. Atau mencari kota lain yang bisa kau puji, kota lain yang mungkin lebih menarik dari kotaku, kota yang kau cari, kota yang tidak membuatmu kecewa dengan keberadaanmu disana, kota yang sesuai harapanmu.

Pergilah, mencari tempat yang mungkin lebih baik bagimu...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Paris dan Jo

Singkat saja kali ini. Aku akan menyusul kalian. Seminar proposal. Segera. Segera, setelah bulat tekadku menghadap ibu PA cantik dan baik hatinya. Serta bapak Ketua Jurusan yang tak kalah baiknya. Ttd., Rizka dan sisa-sisa semangat demi menghabiskan 08 yang tersisa di sisa-sisa akhir kesempatan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi, eh, Sarjana Sosial dari kampus merah.

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Kamu, Do'a Diam-Diamku

Aku akan mendo'akanmu diam-diam Aku masih mendo'akanmu, seperti yang sudah-sudah Tapi, tak selalu... tentu saja banyak hal lain yang ikut kudo'akan Tapi, juga ada kamu di sana Mungkin, tak seperti yang seharusnya Ketika takdir diputuskan dan itu bukanlah kamu Kamu satu-satunya orang, yang entah kenapa membuatku khawatir ketika harus kukabarkan kabar bahagiaku sudah datang Yang hanya kamu jawab, "Benar yang kubilang, kamu akan menikah." Kuminta kehadiranmu, kamu pun menyanggupinya, hadir mengisi bahagiaku seperti yang sudah-sudah Lega rasanya, juga senang tak terkira Seperti gadis kecil yang merajuk, dan dibujuk dengan es krim di tanganmu Atau, seperti ketika Hadirmu dengan segelas air di tangan Saat kuterbaring sakit Dan lagu itu akan selalu mengingatkanku tentangmu Dengan akhir yang sama Dengan do'a yang sama untukmu... Sahabatku, usai tawa ini.  Izinkan aku bercerita:  Telah jauh, ku mendaki.  Sesak udara di atas puncak khayalan.  Jangan sampai kau di sana T