Langsung ke konten utama

Takdir Punya Waktunya Sendiri

Bukan tentang kemapanan yang kita kejar, lalu memutuskan untuk bersama.
Bukan tentang bahagia seterusnya, lalu selalu ingin bersama.
Hanya saja, sebagian waktu yang tidak kita bagi bersama, hanya akan dihabiskan dengan pemikiran tentang, Kapan kita akan bersama lagi?

Takdir punya waktunya sendiri.
Sebagaimana kita yang hanya dibiarkan bertemu satu kali di September 2013. Mungkin sebagai pertemuan awal untuk memperkenalkan, Orang itu yang akan terus membagi waktunya denganmu, nanti.

Kemudian pertemuan yang tak kita sengaja. Tanpa pernah kita rencanakan. Tanpa pernah menjadi sebagian harapan yang ingin kita wujudkan. Kita bertemu lagi akhirnya, 'kan?
Bahkan komunikasi yang timbul-tenggelam tidak pernah menjadikan apa yang kita alami sekarang ini, terlintas di pikiran.

Kita sedang bersama sekarang. Seperti yang sudah ditakdirkan Tuhan yang tak pernah kita tebak sebelumnya.

Seperti itu juga bagaimana kita bersatu dan berpisah nantinya. Tak usah menebak. Tapi, tak lupa berjalan seperti biasanya, berusaha sebaik mungkin, berharap dan berdoa. Karena masih sama seperti kemarin, takdir punya waktunya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Untuk Paris dan Jo

Singkat saja kali ini. Aku akan menyusul kalian. Seminar proposal. Segera. Segera, setelah bulat tekadku menghadap ibu PA cantik dan baik hatinya. Serta bapak Ketua Jurusan yang tak kalah baiknya. Ttd., Rizka dan sisa-sisa semangat demi menghabiskan 08 yang tersisa di sisa-sisa akhir kesempatan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi, eh, Sarjana Sosial dari kampus merah.

Berdamai dengan Takdir

Sepertimu, saya hanya seorang manusia biasa. Dengan jalan hidup yang sudah ditentukan oleh-Nya. Kita menyebutnya takdir. Saya, kau, dia, dan mereka takkan pernah bisa membuatnya berubah atau bergeser sedikitpun. Ukurannya tepat tanpa bisa digugat. Beberapa tahun ini, ada takdir yang terus saya sesali keberadaannya. Terus bersedih saat mengingatnya. Seringkali menyalahkan hal lain sebagai penyebabnya. Termasuk menghukum diri dengan menganggap kesialan tak pernah punya akhir. Sekarang... saya memilih berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan takdirku juga takdirmu. Saya bukan seorang penting yang bisa membuatnya berubah. Lagipula, kalau ini takdir, bagaimana bisa saya melawannya? Yang saya bisa hanya mencoba berdamai. Mencoba menata hati yang selalu menentang hal yang tak saya sukai. Tapi, bukankah hati tak mesti selalu bahagia? Sedih, gusar, dan kepahitan hidup harus ada agar kau juga bisa menghargai nikmatnya bersenang-senang. Berdamailah... terima takdirmu. :)