Diam. Saya selalu saja diam. Diam saat mereka sibuk berbicara. Diam saat tak ada lagi yang berani bicara. Bahkan, diam saat dipaksa bicara.
Saya tidak suka bicara. Saya benci bicara. Salahkah?
Pernah, saat sedang saling mengkritik dengan teman-teman. Seorang teman, bahkan mengkritik itu. Katanya, saya selalu saja diam saat teman-teman sedang seru-serunya berbicara.
Kenapa? Kenapa saya tidak suka bicara saat di depan banyak orang?
Itu karena saya benci jadi perhatian. Saya benci semua mata hanya tertuju pada saya. Benci menjadi titik fokus. Karena saya merasa, saat sedang menjadi titik fokus, sebenarnya semua mata yang memandang hanya berusaha mencari kesalahan pada tiap kata yang saya ucapkan. Saya benci itu!
Saya juga tidak suka menimpali pembicaraan orang. Saya tidak suka menyuarakan pendapatku di tengah orang-orang yang berdebat. Saya benci berdebat!
Saya selalu diam. Saat orang-orang di sekitarku sedang mengobrol dengan serunya. Tapi, saya hanya diam. Tak berkomentar sedikitpun. Hanya tersenyum saat ada cerita lucu, di saat yang lain tertawa 'ngakak'. Bukan inginku seperti itu, tapi memang sulit menjangkau selera humorku. Harus benar-benar sangat lucu, baru saya bisa tertawa. Salah lagi?
Bagiku, lebih baik diam daripada bicara sesuatu yang tidak berguna (tidak diperhatikan orang lain). Lebih baik diam, daripada berdebat tidak berguna. Berdebat dengan orang yang tidak mau kalah debat. Saya bisa berdebat. Tapi, hanya dengan orang yang memang ingin mencari kebenaran. Kebenaran yang bukan hanya untuk kepentingan dirinya. Bukan dengan orang yang ingin semua orang membenarkan pendapatnya.
Diamku bisa berarti saya sedang berpikir. Berpikir mencari yang benar-benar BENAR. Diamku juga bisa berarti, saya sedang tidak suka dengan topik pembicaraan orang-orang di sekitarku. Tidak tertarik.
Saya suka melihat mereka bercerita. Karena itu saya masih bertahan duduk-diam-memperhatikan pembicaraan mereka. Saya tidak terlibat sama sekali. Hanya diam. Bahkan mungkin tak disadari keberadaannya. Tapi, itu tak apa. Asal saya masih bisa berada di tengah-tengah mereka. Menikmati pembicaraan mereka. Memperhatikan mimik wajah mereka satu per satu. Menikmati tiap ekspresi mereka. Itu sudah cukup. Sudah cukup menenangkan.
Saya tidak suka bicara. Saya benci bicara. Salahkah?
Pernah, saat sedang saling mengkritik dengan teman-teman. Seorang teman, bahkan mengkritik itu. Katanya, saya selalu saja diam saat teman-teman sedang seru-serunya berbicara.
Kenapa? Kenapa saya tidak suka bicara saat di depan banyak orang?
Itu karena saya benci jadi perhatian. Saya benci semua mata hanya tertuju pada saya. Benci menjadi titik fokus. Karena saya merasa, saat sedang menjadi titik fokus, sebenarnya semua mata yang memandang hanya berusaha mencari kesalahan pada tiap kata yang saya ucapkan. Saya benci itu!
Saya juga tidak suka menimpali pembicaraan orang. Saya tidak suka menyuarakan pendapatku di tengah orang-orang yang berdebat. Saya benci berdebat!
Saya selalu diam. Saat orang-orang di sekitarku sedang mengobrol dengan serunya. Tapi, saya hanya diam. Tak berkomentar sedikitpun. Hanya tersenyum saat ada cerita lucu, di saat yang lain tertawa 'ngakak'. Bukan inginku seperti itu, tapi memang sulit menjangkau selera humorku. Harus benar-benar sangat lucu, baru saya bisa tertawa. Salah lagi?
Bagiku, lebih baik diam daripada bicara sesuatu yang tidak berguna (tidak diperhatikan orang lain). Lebih baik diam, daripada berdebat tidak berguna. Berdebat dengan orang yang tidak mau kalah debat. Saya bisa berdebat. Tapi, hanya dengan orang yang memang ingin mencari kebenaran. Kebenaran yang bukan hanya untuk kepentingan dirinya. Bukan dengan orang yang ingin semua orang membenarkan pendapatnya.
Diamku bisa berarti saya sedang berpikir. Berpikir mencari yang benar-benar BENAR. Diamku juga bisa berarti, saya sedang tidak suka dengan topik pembicaraan orang-orang di sekitarku. Tidak tertarik.
Saya suka melihat mereka bercerita. Karena itu saya masih bertahan duduk-diam-memperhatikan pembicaraan mereka. Saya tidak terlibat sama sekali. Hanya diam. Bahkan mungkin tak disadari keberadaannya. Tapi, itu tak apa. Asal saya masih bisa berada di tengah-tengah mereka. Menikmati pembicaraan mereka. Memperhatikan mimik wajah mereka satu per satu. Menikmati tiap ekspresi mereka. Itu sudah cukup. Sudah cukup menenangkan.
Komentar
Posting Komentar