Langsung ke konten utama

Harapan Itu Sudah Berhenti

Apa yang kau pikirkan tentang harapan?
Berharap... atau menginginkan sesuatu yang mungkin jauh di luar jangkauanmu.
Saya sendiri, menganggapnya seperti sesuatu yang menentukan bagaimana kita menjalani hidup ini. Dia serupa tujuan hanya agar hidupmu tidak berjalan tanpa arah. Dia penyemangat agar kau fokus menjalani satu macam hidup saja. Bukan membatasi, hanya mengarahkan.

Hampir setahun terakhir, saya hidup seperti berharap pada satu hal saja. Terdengar bodoh memang. Tapi, begitu kenyataannya. Saya berharap pada seseorang untuk terus bisa menemani saya. Hanya karena dia bisa menyemangati, mengajari, juga mengingatkan tentang semua hal yang terlupa tanpa sengaja.

Beberapa bulan kemudian, dia memilih pergi. Saya seperti kehilangan arah. Harapan saya musnah begitu saja. Lebih bodoh lagi, saya tak tahu harus berbuat apa untuk kembali mendapatkan semangat saya yang dulu. Sebenarnya, saya sangat membenci ini. Dan termasuk hal yang paling saya hindari dulunya. Bergantung pada kehadiran seseorang. Lalu, jadi tak punya arti ketika kehadiran orang tersebut tak lagi nyata. Tapi, terlambat saya menyadarinya. Saya terlanjur banyak berharap. Sampai sulit percaya dengan kemampuan saya sendiri.

Dua bulan berikutnya, saya mencoba bangkit lagi. Setelah berbagai macam pikiran juga hantaman kata mutiara dari teman-teman terdekat. Mereka, orang-orang yang menyayangi saya. Saya tahu itu. Mereka yang selalu ada saat butuh ataupun tak dibutuhkan. Dan, saya mensyukuri itu.

Saya mencoba membangun harapan yang baru lagi. Mencoba percaya pada kemampuan saya sendiri. Belajar meyakini jalan apapun yang saya pilih. Tapi, sayangnya... sebelum keyakinan itu kuat betul, orang itu datang lagi dan melemahkan kepercayaan yang saya punya. Harapan itu datang lagi. Dia seperti berusaha membuktikan kehadirannya masih bisa sangat berarti.

Tekad yang berusaha saya bangun sebelumnya goyah. Orang ini seperti benar-benar tahu kapan waktu yang tepat untuk hadir kembali. Ya, saat saya nyaris lupa dan tidak berpikir tentangnya lagi. Nyaris. Di saat hanya tersisa sangat sedikit harapan. Tapi, berhasil ditumbuhkannya kembali hanya dengan telpon tak terjawab dan satu pesan di aplikasi whatsapp.

Setelah dua bulan dia hampir saya anggap mati, dia datang dan meminta pertemanan lagi. Dan, rasanya terlalu jahat kalau harus benar-benar memutuskan komunikasi itu. Kami berteman lagi. Hampir saja tergoda untuk memulai hubungan baik dengannya. Tapi, seperti yang pernah seorang teman katakan (dan masih saya yakini kebenarannya), "Kembali ke masa lalu berarti kembali mengulang kesalahan yang sama."

Meski sebenarnya masih ada harap, sebaiknya saya berhenti saja. Saya belum banyak berubah dari diri saya yang dulu ditinggal dia. Dia pun sama. Jadi, harusnya tak kembali seperti dulu lagi. Atau yang terjadi hanya mengulang salah yang sama lagi. Jadi, ya berhenti saja. "Semoga bertemu yang sesuai." Katanya. Saya juga mengharapkan hal yang sama untuk dia. Dan, sepertinya tak butuh waktu yang lama untuk dia mewujudkan itu. Saya hanya menunggu giliran saja yang entah kapan. Waktu akan membuktikan semuanya menjadi lebih baik. Saya percaya itu. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Apa Mimpimu?"

Banyak yang bertanya, "Apa masalahmu sampai lama begini kelar kuliahnya?" Yakin mau tahu? Karena jujur saja, saya sendiri tak banyak berpikir soal itu. Atau lebih tepatnya, saya tak banyak berpikir lagi selama tiga tahun belakangan. Kalau hidup ini bagaikan aliran sungai yang bermuara entah kemana, maka saya sudah hanyut di dalamnya. Tanpa sedikitpun usaha untuk memilih hendak bersinggah kemana. Saya punya seorang teman, yang sebenarnya bisa disebut motivator dan memahami psikologi seseorang. Satu waktu dia menanyakan satu hal yang kemudian menjerat kami dalam pembicaraan panjang dan dalam. Dari sini saya juga tersadar, kau tidak akan teringat kalau kau sudah melupakan sesuatu kalau tak ada yang menanyakannya. "Apa mimpimu?" Saya sendiri tak lagi mengandalkan mimpi untuk membuat hidupku bertahan. Sebut saja dia sudah hancur. Saya tak punya tujuan, dan ini serius. Saya pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Lalu dia menghilang dengan sendirinya. Saya juga ta

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Bahagianya adalah Bahagiamu??

I would rather hurt myself than to ever make you cry... potongan lirik Air Supply (Good Bye) yang saya tampilkan di salah satu akun jejaring sosial saya, rupanya menarik perhatian seorang teman. Si teman ini adalah satu dari beberapa teman yang lumayan dekat dengan saya. Saya punya beberapa teman yang hubungan saya dengannya setingkat di atas teman biasa. Disebut sahabat, tidak juga... sebab tak semua masalah bisa saya bagi dengan mereka. Hanya sekedar menjelaskan bahwa kejiwaan saya sedang terusik oleh adanya sebuah masalah. Tidak pernah secara detail menjelaskan masalah pribadi, semisalnya dengan kalimat panjang lebar hingga mereka merasa seolah ikut merasakan apa yang saya alami. Hubungan pertemanan ini, selanjutnya disebut persaudaraan (saya menganggapnya seperti itu), dalam prosesnya terjadi dengan saling memperhatikan satu sama lain. Mulai dari masalah makan, kalau mereka tak melihatmu makan seharian. Atau, menuduhmu tidak tidur seharian hanya karena kau tak bersemangat menjalan