Langsung ke konten utama

Ada Bahagia di Delapan November

Banyak yang berbahagia hari itu. Ada adik sepupu kesayangan dengan usia sebelas tahunnya. Juga kakak tersayang dengan tiga tahun berpasangan dengan sang kekasih. Mereka semua sangat berbahagia menyambut hari itu. Saya pun sama. Sebelum subuh hari, saat di mana seseorang memilih meninggalkan saya.

Adik sepupu, Nabila panggilannya. Hari itu membuat kejutan di rumah kami. Setelah beberapa hari sebelumnya terus memaksa kami membelikan hadiah ini-itu untuknya. Ternyata, dia masih juga butuh perayaan. Tanpa diberi izin, dia memanggil beberapa teman terdekatnya ke rumah. Untung saja, ada persiapan kecil-kecilan yang sebenarnya hanya untuk keluarga. Dengan beberapa kado tambahan dari teman-temannya, jelas dia sangat berbahagia. Meski sederhana, hanya sajian nasi kuning, minuman dingin, dan kumpulan cerita sampai mereka lelah dan memilih pulang.

Kakak-kakak tersayang, kakak Kiky dan kak Donald. Di ulang tahun ketiga pacaran mereka, ternyata tak melulu harus senang. Kesibukan kerja kakak dan sang pacar yang berdiam diri di rumah karena sakit, memaksa mereka tak menghabiskan waktu bersama hari itu. Entahlah, pasti mereka selalu punya cara untuk mengatasi itu. Apalah guna teknologi?

Saya sendiri… ternyata tak butuh waktu lama untuk berharap banyak pada seseorang. Setelah saling berbagi kabar dan lalu menghilang dan datang lagi. Dia memilih menyerah. Bahkan berniat untuk menghilangkan dirinya saja. Saya tahu, saya tak cukup baik untuknya. Saya dan dia pun seperti hanya memaksakan diri dalam keadaan yang penuh keraguan. “Sebelum bertambah jauh ini hubungan.” katanya. Saya lalu setuju untuk menyudahinya.

Saya? Sebenarnya sangat ingin bertahan. Bukan karena tak peduli pada hati yang mulai sakit. Tapi, karena masih merasa ada banyak hal yang bisa saya dan dia perbaiki. Masih ada harapan untuk kami jaga. Bagaimana pun juga, saya tak bisa memaksakan ini. Mempertahankan harapan sendiri hanya akan menyakiti kami berdua. Dia harus berpura-pura nyaman, dan saya yang harus berpura-pura menganggap dia nyaman saja denganku. Bukankah, hanya akan menyiksa saya dan dia sama besarnya? Maka, kami mengakhirinya. Dia meminta maaf. Dan saya hanya bisa berterimakasih. Dia pernah jadi salah satu alasanku tersenyum senang. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Apa Mimpimu?"

Banyak yang bertanya, "Apa masalahmu sampai lama begini kelar kuliahnya?" Yakin mau tahu? Karena jujur saja, saya sendiri tak banyak berpikir soal itu. Atau lebih tepatnya, saya tak banyak berpikir lagi selama tiga tahun belakangan. Kalau hidup ini bagaikan aliran sungai yang bermuara entah kemana, maka saya sudah hanyut di dalamnya. Tanpa sedikitpun usaha untuk memilih hendak bersinggah kemana. Saya punya seorang teman, yang sebenarnya bisa disebut motivator dan memahami psikologi seseorang. Satu waktu dia menanyakan satu hal yang kemudian menjerat kami dalam pembicaraan panjang dan dalam. Dari sini saya juga tersadar, kau tidak akan teringat kalau kau sudah melupakan sesuatu kalau tak ada yang menanyakannya. "Apa mimpimu?" Saya sendiri tak lagi mengandalkan mimpi untuk membuat hidupku bertahan. Sebut saja dia sudah hancur. Saya tak punya tujuan, dan ini serius. Saya pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Lalu dia menghilang dengan sendirinya. Saya juga ta

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Bahagianya adalah Bahagiamu??

I would rather hurt myself than to ever make you cry... potongan lirik Air Supply (Good Bye) yang saya tampilkan di salah satu akun jejaring sosial saya, rupanya menarik perhatian seorang teman. Si teman ini adalah satu dari beberapa teman yang lumayan dekat dengan saya. Saya punya beberapa teman yang hubungan saya dengannya setingkat di atas teman biasa. Disebut sahabat, tidak juga... sebab tak semua masalah bisa saya bagi dengan mereka. Hanya sekedar menjelaskan bahwa kejiwaan saya sedang terusik oleh adanya sebuah masalah. Tidak pernah secara detail menjelaskan masalah pribadi, semisalnya dengan kalimat panjang lebar hingga mereka merasa seolah ikut merasakan apa yang saya alami. Hubungan pertemanan ini, selanjutnya disebut persaudaraan (saya menganggapnya seperti itu), dalam prosesnya terjadi dengan saling memperhatikan satu sama lain. Mulai dari masalah makan, kalau mereka tak melihatmu makan seharian. Atau, menuduhmu tidak tidur seharian hanya karena kau tak bersemangat menjalan