Langsung ke konten utama

Keadilan bagi Sulung dan Bungsu

Okai... Juni ini pengeluaran besar dilakukan oleh ibu. Maaf, bun... Kedua putrimu yang tak tahu diri selalu saja menyusahkanmu.

Dimulai dari pendanaan study tour beserta pelengkapnya. Mungkin, bagi sebagian orang jumlah itu tak banyak, tapi sangat berat bagi orang tua tunggal sepertinya. Meski dibantu sama ayah sedikit. Hhe

Ditambah lagi, pembelian ponsel baru untuk si sulung, atas dasar asas keadilan. Adil bagi kedua putrinya, tapi baginya??

Memang sejak kecil mereka dididik untuk bersikap adil. Lebih tepatnya, ssi bungsu yang selalu menuntut agar orang lain, khususnya kedua orang tua mereka, memperlakukan mereka secara adil. Dibelikan ini kalau si sulung dibelikan ini juga. Diberi itu jika si sulung diberi itu juga. Bukan hanya dalam bentuk materi, tapi juga perlakuan. Misalnya, si sulung sudah pernah pergi atau diajak ke suatu tempat, maka sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai keadilan, si bungsu menuntut untuk dibawa ke tempat yang sama meski tak pernah menuntut kapan tepatnya. Atau, si sulung sudah ABCD, si bungsu juga harus mencoba kapan-kapan ABCD tersebut.

Tapi, jangan pernah menganggap si bungsu egois dalam hal ini. Jika dia mendapat sebuah perlakuan dari orang tuanya, ia selalu mengingatkan pada orang tuanya agar sulung mendapat perlakuan yang sama. Dalam hal yang mengenakkan, apalagi hal yang tidak mengenakkan. Dihukum, misalnya. Meski tak pernah dihukum apapun sampai saat ini. Kecuali, cubitan ibu di atas tumit kaki saat si bungsu mencoba pulang malam waktu kelas empat SD hanya untuk berenang dengan temanktemannya. :D

Maaf, bun. Semoga pengeluaranmu kali ini tidak sia-sia. Contohnya saja, ponsel baru si sulung sedang digunakan si bungsu untuk membuat postingan ini. Keenakan pakai ponsel sulung. Dimana adilnya?? Hhe... :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Untuk Paris dan Jo

Singkat saja kali ini. Aku akan menyusul kalian. Seminar proposal. Segera. Segera, setelah bulat tekadku menghadap ibu PA cantik dan baik hatinya. Serta bapak Ketua Jurusan yang tak kalah baiknya. Ttd., Rizka dan sisa-sisa semangat demi menghabiskan 08 yang tersisa di sisa-sisa akhir kesempatan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi, eh, Sarjana Sosial dari kampus merah.

Berdamai dengan Takdir

Sepertimu, saya hanya seorang manusia biasa. Dengan jalan hidup yang sudah ditentukan oleh-Nya. Kita menyebutnya takdir. Saya, kau, dia, dan mereka takkan pernah bisa membuatnya berubah atau bergeser sedikitpun. Ukurannya tepat tanpa bisa digugat. Beberapa tahun ini, ada takdir yang terus saya sesali keberadaannya. Terus bersedih saat mengingatnya. Seringkali menyalahkan hal lain sebagai penyebabnya. Termasuk menghukum diri dengan menganggap kesialan tak pernah punya akhir. Sekarang... saya memilih berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan takdirku juga takdirmu. Saya bukan seorang penting yang bisa membuatnya berubah. Lagipula, kalau ini takdir, bagaimana bisa saya melawannya? Yang saya bisa hanya mencoba berdamai. Mencoba menata hati yang selalu menentang hal yang tak saya sukai. Tapi, bukankah hati tak mesti selalu bahagia? Sedih, gusar, dan kepahitan hidup harus ada agar kau juga bisa menghargai nikmatnya bersenang-senang. Berdamailah... terima takdirmu. :)