Langsung ke konten utama

Air dan Udara

Sore tadi,
oleh Air kepada Udara...

Pernah kita dikabarkan dekat oleh beberapa orang. Aku, senang bukan main karenanya. Tentu saja. Sebab aku memang suka seperti itu, aku memang suka padamu. Lalu, kita menambah heboh kabar tentang kita. Tanpa sadar, wallpaper di ponsel kita sama, foto kita. Kau mungkin saja memasang itu sebab wajahmu terlihat sangat manis disana. Tapi, tidak aku. Aku memasangnya secara sengaja. Sebab objek di gambar itu kita. Aku dan kamu. Itu foto pertama kita. Aku menyukainya. Sambil sesekali berkhayal tentang nyatanya kabar yang beredar tentang kita. Berkhayal bahwa itu tak hanya kabar tak pasti, melainkan benar adanya. Benar ada kita di kenyataan ini.

Lalu, seiring makin seringnya kabar itu datang, kau tampak tak suka atas itu. Kucoba meminta maaf padamu. Berharap kabar itu tidak merubah sikapmu padaku. Tapi, terlambat. Kau tak hanya berubah. Kau merubah kabar yang ada selama ini. Merubahnya menjadi kabar yang tak hanya tidak mengenakkan. Tapi, juga menyakitkan.

Kucoba tidak memikirkan hal itu. Berharap kabar itu hanya sekedar kabar. Kabar yang tak akan pernah jadi nyata. Lalu, kuberanikan diri menanyakannya langsung padamu. Dan, kau tak menjawab. Lalu, kudesak terus sampai kau tertekan. Tapi, rupanya tekanan itu bukannya menghentikan langkahmu untuk menjauhiku, kau malah semakin jauh. Jauh tak terengkuh. Lalu, pandanganku mengabur sesaat setelah tersadar, kau bukan hanya merubah sikapmu untukku. Tapi, aku juga telah kehilanganmu, udaraku. Ketidaksadaran menarikku begitu dalam, lalu gelap...

##

Oleh Udara kepada Air...

Maaf atas sikapku yang tak sopan saat mereka membicarakan tentang kita. Aku selalu menampakkan wajah murung di hadapanmu. Bukan tanpa alasan, aku hanya takut melukaimu.

Tapi, kau terlihat senang-senang saja. Seperti air, membentuk dirimu sesuai wadah yang kau tempati, kau membiasakan dirimu sesuai dengan situasi yang kau hadapi. Kupikir, mungkin watakmu memang seperti itu. Menganggap biasa semua yang pernah terjadi di antara kita, termasuk yang mereka bicarakan itu.

Lalu, kau memasang wallpaper ponsel yang ternyata sama dengan ponselku, foto pertama kita. Wajar saja, kau terlihat cantik disitu. Alasan yang sama denganku saat menjadikannya wallpaper.

Suatu keberuntungan bagiku bisa berfoto denganmu. Dan melihat wallpaper itu, kembali membuatku senang setengah mati. Di foto itu terekam wajah polos dan senyum tulus yang selalu membuat orang tak dapat menahan diri untuk membalas senyum itu tiap kali melihatnya. Aku membiarkannya menjadi wallpaperku. Setidaknya senyummu itu tersimpan untukku, hanya untukku. Senyum yang sebenarnya tak pernah kuikhlaskan untuk orang lain. Senyum yang seharusnya ada hanya untukku. Tapi, tak bisa.

Aku lalu membuat kabar yang mengaburkan kabar kita. Kabar yang bisa membuatmu menjauhiku. Tapi, tak berhasil sepertinya. Kau malah mengejarku. Membuatku hampir gila karenamu.

Lalu, aku terus berlari, berharap kau lelah dan berhenti mengejar. Tapi, bukannya berhenti karena kelelahan, kau malah terus ada dan tak pernah hilang. Kau bukan hanya mengejarku dari belakang. Tapi, bayangmu terus menemani di kiri-kananku. Bahkan berhenti di suatu titik di depan sana, seolah menungguku mendekat.

Aku terus berlari, ditemani olehmu. Tanpa tahu mana dirimu yang sebenarnya karena kini disetiap sisiku ada engkau. Dan entah mengapa, raut wajahku tak lagi murung, aku malah terus tersenyum, membalas senyummu yang entah tersungging sampai kapan.

##

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Apa Mimpimu?"

Banyak yang bertanya, "Apa masalahmu sampai lama begini kelar kuliahnya?" Yakin mau tahu? Karena jujur saja, saya sendiri tak banyak berpikir soal itu. Atau lebih tepatnya, saya tak banyak berpikir lagi selama tiga tahun belakangan. Kalau hidup ini bagaikan aliran sungai yang bermuara entah kemana, maka saya sudah hanyut di dalamnya. Tanpa sedikitpun usaha untuk memilih hendak bersinggah kemana. Saya punya seorang teman, yang sebenarnya bisa disebut motivator dan memahami psikologi seseorang. Satu waktu dia menanyakan satu hal yang kemudian menjerat kami dalam pembicaraan panjang dan dalam. Dari sini saya juga tersadar, kau tidak akan teringat kalau kau sudah melupakan sesuatu kalau tak ada yang menanyakannya. "Apa mimpimu?" Saya sendiri tak lagi mengandalkan mimpi untuk membuat hidupku bertahan. Sebut saja dia sudah hancur. Saya tak punya tujuan, dan ini serius. Saya pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Lalu dia menghilang dengan sendirinya. Saya juga ta

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Bahagianya adalah Bahagiamu??

I would rather hurt myself than to ever make you cry... potongan lirik Air Supply (Good Bye) yang saya tampilkan di salah satu akun jejaring sosial saya, rupanya menarik perhatian seorang teman. Si teman ini adalah satu dari beberapa teman yang lumayan dekat dengan saya. Saya punya beberapa teman yang hubungan saya dengannya setingkat di atas teman biasa. Disebut sahabat, tidak juga... sebab tak semua masalah bisa saya bagi dengan mereka. Hanya sekedar menjelaskan bahwa kejiwaan saya sedang terusik oleh adanya sebuah masalah. Tidak pernah secara detail menjelaskan masalah pribadi, semisalnya dengan kalimat panjang lebar hingga mereka merasa seolah ikut merasakan apa yang saya alami. Hubungan pertemanan ini, selanjutnya disebut persaudaraan (saya menganggapnya seperti itu), dalam prosesnya terjadi dengan saling memperhatikan satu sama lain. Mulai dari masalah makan, kalau mereka tak melihatmu makan seharian. Atau, menuduhmu tidak tidur seharian hanya karena kau tak bersemangat menjalan