Langsung ke konten utama

Teman yang Tak Lagi Dekat

Ini tentang Mini yang jauh di sana...
Iya, Rukmini Rasyid yang terlalu identik dengan keberadaan saya di teman-teman KOSMIK. Dia terlalu jauh terbang. Terbang dengan pesawat, maksudnya. Sampai saya susah menyusulnya. Menyusul dengan alasan apa juga? Sekarang ini, dia terlalu sibuk, mungkin. Sampai saya merindukannya. Kalau yang satu ini... karena ada sangat banyak hal yang ingin saya ceritakan pada dia. Juga ada banyak hal yang ingin saya dengar dari dia.

Ah... baru kali ini ada teman yang bikin saya serindu ini. Kehidupan banyak berubah memang. Yang perlu saya lakukan sekarang, adalah menerima perubahan itu dan melakukan bagianku sendiri. Yaitu, juga ikut berubah sesuai kebutuhan hari ini.

Tapi... saya terlalu rindu Mini. Teman yang tidak akan bikin saya merasa terasing, meski dalam hingar bingar keramaian yang tak saya mengerti. Saya rindu. Sampai ingin berlari menggapai dia. Sangat ingin memeluk dia. Atau, kalau tak bisa, cukup dia duduk di sekitarku saja. Meski larut dalam diam. Tanpa bahan pembicaraan. Cukup ada dia saja, saya sudah tenang. Ah, Mini... kenapa terlalu jauh di sana? Saya rindu. Terlalu rindu sampai tak bisa memberitahumu tentang rindu yang saya punya.

Hari Kamis, 20  November kemarin... saya menyempatkan diri mengantar dia ke bandara. Melepas memandang dia dari balik punggungnya untuk kali terakhir (sementara ini). Beberapa jam sebelum itu, saya sempat ke rumahnya untuk beberapa keperluan. Tanpa sengaja juga ikut sibuk membantu keperluannya sebisa saya. Itu waktu-waktu terakhir yang bisa saya lewatkan dengan dia. Seolah dia hanya akan pergi seminggu saja. Tanpa ingin saya pikirkan, akan terpisah fisik dengannya selama tiga puluh bulan kendepan.

Janji, tak ada tangis. Itu yang sempat saya nyatakan dengan dia. Sampai dia pergi. Sampai beberapa kali saya sempatkan memeluk tubuh dia. Hanya demi memastikan, tubuh yang akan berjauhan dengan saya masih bersama saya saat itu. Kami tidak menangis. Saya tidak sekali pun pernah menangis sebelum dia ke benua seberang. Padahal, Tria yang sempat bersama saya ke bandara, beberapa kali memerah matanya menahan tangis. Saya masih juga tersenyum. Takut tangisku tak bisa berhenti saat ikut sedih dengan Mini yang pergi sejauh itu. Sendirian.

Saya tidak meragukan sedikitpun dia bisa bertahan di sana. Rukmini itu salah satu perempuan tangguh yang saya kenal. Perempuan yang bisa menularkan ketangguhannya saat saya malah rapuh. Sahabat, sekaligus kakak-adik yang bisa bertukar peran kapanpun dibutuhkan. Saya menyayangi dia. Dan andai saja saya punya kekuatan untuk melindungi orang-orang yang saya sayangi, biar terhindar dari hal-hal berbahaya bagi hati dan fisik, Mini pastilah akan termasuk dalam lingkaran yang saya lindungi itu. Semoga dia selalu baik-baik saja di sana.

Saya haruslah berbahagia dengan keadaan sekarang ini. Seperti yang pernah saya bicarakan dengan Tria. Mini pastilah bahagia. Dengan pilihan hidup sesuai dengan keinginannya. Menetap di negeri orang, meski bukan selamanya. Seperti Mini yang berbahagia di sana. Saya juga ikut bahagia, dengan teman baik saya yang mungkin sedang sangat bersemangatnya menikmati dunia barunya di sana. Saya bahagia! Turut senang dan berbangga dengan satu pencapaian mimpinya. Untuk disusul dengan pencapaian yang lain.

Tapi, menahan air mata bukan kebiasaan yang menyenangkan untuk saya. Dan, malam ini puncaknya sejak kali pertama mendapar kabar pencapaian Mini yang jauh itu. Sekitar sejak Agustus-September kemarin. Malam ini, sejak kata pertama di atas tadi... tangis seolah tumpah. Terlalu lama dipendam. Terlalu banyak yang ingin saya lampiaskan akan perubahan besar ini. Apa lagi dengan kata-kata terakhir sebelum dia pergi, "Harusnya kuliatko ujian. (Harusnya saya melihatmu ujian--Skripsi)." Permintaanya yang tidak sempat saya kabulkan. Dan itu bikin menangis lagi. Teman terbaik saya tidak akan tampak pada saat paling senang sekaligus menegangkan saat kuliah saya kelar nanti.

Ya, semua hanya tentang jarak dan waktu. "Kalaupun lama walaupun jauh, kita kan selalu menyatu." Seperti yang biasa kita dengar di KOSMIK sana. Rukmini akan baik-baik saja. Berbahagialah... :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aktivitas di Luar Kebiasaan

 Halo, saya Rizka. Seorang istri dan ibu dari sepasang putra dan putri yang lagi lucu-lucunya. Dua anak cukup? Biasanya, keseharian saya hanyalah mengurus rumah tangga. Seperti ibu muda biasanya. Yang kemudian selama lebih dari setahun belakangan, mencoba beraktivitas di luar kebiasaan. Ini tak mudah, meskipun sekarang lebih mudah rasanya. Kenapa? Ada dua kenapa dan kenapa.  Kenapa saya masih menginginkan aktivitas lain di luar kebiasaan menjadi ibu rumah tangga? Saya mungkin masih bisa leyeh-leyeh di rumah. Menikmati empuknya pembaringan serta hembusan angin dari kipas angin listrik di sudut kamar, atas nama istirahat sejenak. Dari kesibukan memenuhi kebutuhan suami dan anak-anak saya. Tapi, seorang yang sangat bisa menikmati waktu santai dengan begitu seriusnya, juga sangat bisa bosan. Jadi, intinya adalah kebosanan itu sendiri. Yang bahkan semua cara untuk membunuh rasa bosan ini, sudah jadi aktivitas yang membosankan.  Bukan saya tak mencintai suami dan anak-anakku t...

Kehilangan, Sebuah Fase Hidup

Kehilangan adalah bagian akhir dari proses memiliki sesuatu. Atau, melepas sesuatu yang pernah kau sebut punyamu. Punyaku. Punya kita. Setidaknya, kehilangan ini hadir dalam bentuk perasaan. Seperti kutipan lirik lagu yang Letto punya, "Rasa kehilangan hanya akan ada, jika kau pernah merasa memilikinya." Kehilangan bisa berarti berakhirnya kehidupan yang pernah kita bangun bersama. Atau juga, berarti memulai kehidupan yang baru, dengan orang-orang lainnya.  Saya pernah kehilangan. Sering. Dan seringnya tak punya nyali untuk meminta kembali apa yang pernah saya miliki itu kembali. Nyali atau sekedar gengsi? Bagi saya, meninggalkanku berarti kau kehilanganku. Tak ada jalan kembali. Rasaku tak akan pernah sama ketika kau kembali memilihku. Karena saya tak akan terima kau memilihku setelah pernah meninggalkanku ketika saya memilihmu dulu. Mengerti? Saya pun tak mengerti kenapa bisa jadi seperti itu. Sekarang, saya tak sedang bercerita tentang kau dan kau yang ternyata kem...

Perempuan Tangguh

Pernah saya dan beberapa teman mendapat julukan ini. bersama tiga teman seangkatan di kampus dan dua kakak di sana. Agak beresiko memang, dengan kata-kata itu. Karena sesungguhnya kami (sepertinya) hanyalah mencoba terlihat tangguh. Kami juga bukan superhero yang harus membantu kaum yang lemah. Apalah kami yang membantu diri sendiri saja sudah sulit. Atau itu hanya perasaanku saja. Pada akhirnya mereka jadi tangguh dengan cara mereka sendiri. Semoga aku pun sama. Update 2019... Tak semua dari mereka masih dekat denganku sekarang ini. Secara komunikasi, hanya dua dari mereka. Secara fisik, tak satu pun dari mereka dengan mudah kutemui saar ini. Apa jadinya kami kalau bertemu lagi? Mungkin akan mudah meski hanya bertanya kabar terkini tentang keadaan kami masing-masing. Agak merindukan mereka... Merindukan rasa tangguh seolah kami benar-benar tangguh Karena sesungguhnya saya hanya sedang rapuh saat ini Mungkin sedikit atmosfer di antara mereka bisa menularkan ketangguhan ...