Langsung ke konten utama

Berakhirnya Juni

Juni hampir habis, Sayang... Jauh berjalan dari November yang sama kita tinggalkan. Tapi, masih juga kutunggu kamu dengan bodohnya. Dengan janji, "Kalau saya ke Makassar, kita ketemu yah?" Pasti. Dengan bodohnya lagi, kutunggu kamu. Tepat seperti bulan Desember, Februari, dan April lalu. Yang kutahu pasti, kamu pernah ada di sini. Seperti biasa, tanpa memberitahuku. Tanpa penepatan janjimu.

Masih juga kutunggu sampai sekarang.
Tepat di saat bulan Juni.
Per dua bulan kebiasaanmu mengunjungi kotaku lagi.

Tapi, harus ada yang berhenti untuk membohongi diri sendiri seperti sekarang ini. Tentang menunggu yang tak pernah pasti. Kenyataannya, kamu tak akan berhenti dengan janji manis itu. Maka harus aku yang berhenti membohongi diri menanti kamu.

Akun Whatsapp telah kuhapus. Juga akun Wechat yang kedua, setelah upaya menghindarimu gagal. Untuk BBM, setelah menghapusmu, aku yakin tak akan berteman denganmu lagi di sana. Selanjutnya, mematahkan simcard nomor yang kamu tahu itu. (Yang akhirnya hanya berani jarang kuaktifkan, bukan mematahkannya sampai benar-benar selesai komunikasi kita)

Kekanakan, Sayang? Kalaupun iya, rasanya tak mengapa. Aku hanya harus melakukan itu semua. Jika tidak, itu berarti aku masih mengharapkanmu. Dan, sekarang sudah waktunya berhenti. Menerima semua yang terjadi dan melupakanmu.

Oh, iya... Aku pernah bertemu gadismu di gerai fastfood di kota ini. Tanpa sengaja, dan mampu membuat mataku memanas menahan tangis. Dia cantik. Chubby sesuai tipemu. Terlihat manja sekaligus dewasa sesuai inginmu. Semoga saja dia tidak keras kepala dan menyusahkanmu sepertiku. :D

Hmmm... Berbahagialah dengannya, biar tak perlu lagi aku mengkhawatirkanmu. :)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Apa Mimpimu?"

Banyak yang bertanya, "Apa masalahmu sampai lama begini kelar kuliahnya?" Yakin mau tahu? Karena jujur saja, saya sendiri tak banyak berpikir soal itu. Atau lebih tepatnya, saya tak banyak berpikir lagi selama tiga tahun belakangan. Kalau hidup ini bagaikan aliran sungai yang bermuara entah kemana, maka saya sudah hanyut di dalamnya. Tanpa sedikitpun usaha untuk memilih hendak bersinggah kemana. Saya punya seorang teman, yang sebenarnya bisa disebut motivator dan memahami psikologi seseorang. Satu waktu dia menanyakan satu hal yang kemudian menjerat kami dalam pembicaraan panjang dan dalam. Dari sini saya juga tersadar, kau tidak akan teringat kalau kau sudah melupakan sesuatu kalau tak ada yang menanyakannya. "Apa mimpimu?" Saya sendiri tak lagi mengandalkan mimpi untuk membuat hidupku bertahan. Sebut saja dia sudah hancur. Saya tak punya tujuan, dan ini serius. Saya pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Lalu dia menghilang dengan sendirinya. Saya juga ta

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Bahagianya adalah Bahagiamu??

I would rather hurt myself than to ever make you cry... potongan lirik Air Supply (Good Bye) yang saya tampilkan di salah satu akun jejaring sosial saya, rupanya menarik perhatian seorang teman. Si teman ini adalah satu dari beberapa teman yang lumayan dekat dengan saya. Saya punya beberapa teman yang hubungan saya dengannya setingkat di atas teman biasa. Disebut sahabat, tidak juga... sebab tak semua masalah bisa saya bagi dengan mereka. Hanya sekedar menjelaskan bahwa kejiwaan saya sedang terusik oleh adanya sebuah masalah. Tidak pernah secara detail menjelaskan masalah pribadi, semisalnya dengan kalimat panjang lebar hingga mereka merasa seolah ikut merasakan apa yang saya alami. Hubungan pertemanan ini, selanjutnya disebut persaudaraan (saya menganggapnya seperti itu), dalam prosesnya terjadi dengan saling memperhatikan satu sama lain. Mulai dari masalah makan, kalau mereka tak melihatmu makan seharian. Atau, menuduhmu tidak tidur seharian hanya karena kau tak bersemangat menjalan