Mendengarnya berkata, "Jadi, apa kau menyukaiku?"
Setelahnya, mungkin itu diam terlama dalam jeda kau berbicara dengannya. Jelas, kau tak pernah bisa jujur tentang itu. Bukannya tak suka, tapi rasanya masih sulit untuk bisa menyukai seseorang yang berbahaya bagimu. Seperti ingin mendekati sesuatu yang seharusnya kau jauhi. Semacam anak kecil yang suka bermain kembang api. Tahu itu berbahaya tapi tetap saja senang memainkannya.
Kau mungkin belum begitu menyukainya. Tapi, senang ketika tahu ada seseorang yang mendengarkan ketika kau butuh berbicara. Mencoba memperbaiki pemikiranmu yang kadang keliru. Membagi ceritanya denganmu seolah kau orang yang sangat dekat dengannya. Juga seseorang yang bisa kau percayakan untuk membicarakan hal-hal yang tidak kau bagi dengan yang lain. Kau luar biasa senang dekat dengan seseorang yang menenangkan sepertinya.
Tapi, dia tak pernah tahu. Kalimat yang diucapnya pernah jadi kalimat yang paling kau harapkan terucap oleh seseorang yang lain. Meski itu mungkin hal yang tidak benar, tapi bagaimana bisa kau menyukai seseorang, yang di dalam dirinya terdapat hal-hal yang ingin kau lupakan dari seseorang yang lainnya? Ini tak pernah adil. Tapi, kau menikmatinya. Sampai sering kali lupa sedang berbicara dengannya, bukan dengan seseorang yang pernah kau harapkan itu.
Sekarang dia menjadi orang yang paling ingin kau tanya kabarnya bahkan ketika kau sangat sibuk. Lalu, tak jadi menanyakannya karena tahu di sana dia sedang sama sibuknya. Dia seseorang yang bisa membuatmu tersenyum (meski sedikit) di saat kau sedang sangat sedihnya. Kesal dan tertawa di saat yang bersamaan. Senang di saat kau berhasil membuatnya kesal dan merajuk. Lalu, sedih lagi di saat dia benar-benar kesal dan tak peduli denganmu. Kemudian, kau mengalah dan hanya bisa berkata, "Jadi, maunya seperti apa?"
Dia orang yang sepenting itu bagimu. Tapi, tetap tak bisa kau jawab ketika dia mulai bertanya, "Bagaimana saya di matamu?" Yang malah kau jawab dengan, "Kau cukup jujur untuk berani mengungkapkan dirimu yang terdahulu." Ya, dia cukup jujur. Dan tak ada yang bisa menjamin kau akan bertemu orang lebih baik darinya, tapi bisa sejujur itu denganmu.
Terakhir, dia mengucapkan terima kasih. Entah untuk apa. Mungkin sama dengan terima kasih yang disampaikannya ketika pertama kali kau mempercayakan dia menghubungimu. Tapi, entah kenapa ucapan terima kasih terdengar seperti ucapan perpisahan. Sama seperti, "Selamat tinggal, waktu yang kita lalui cukup berharga, tapi saya tak bisa bertahan lebih lama lagi denganmu."
Setelahnya, mungkin itu diam terlama dalam jeda kau berbicara dengannya. Jelas, kau tak pernah bisa jujur tentang itu. Bukannya tak suka, tapi rasanya masih sulit untuk bisa menyukai seseorang yang berbahaya bagimu. Seperti ingin mendekati sesuatu yang seharusnya kau jauhi. Semacam anak kecil yang suka bermain kembang api. Tahu itu berbahaya tapi tetap saja senang memainkannya.
Kau mungkin belum begitu menyukainya. Tapi, senang ketika tahu ada seseorang yang mendengarkan ketika kau butuh berbicara. Mencoba memperbaiki pemikiranmu yang kadang keliru. Membagi ceritanya denganmu seolah kau orang yang sangat dekat dengannya. Juga seseorang yang bisa kau percayakan untuk membicarakan hal-hal yang tidak kau bagi dengan yang lain. Kau luar biasa senang dekat dengan seseorang yang menenangkan sepertinya.
Tapi, dia tak pernah tahu. Kalimat yang diucapnya pernah jadi kalimat yang paling kau harapkan terucap oleh seseorang yang lain. Meski itu mungkin hal yang tidak benar, tapi bagaimana bisa kau menyukai seseorang, yang di dalam dirinya terdapat hal-hal yang ingin kau lupakan dari seseorang yang lainnya? Ini tak pernah adil. Tapi, kau menikmatinya. Sampai sering kali lupa sedang berbicara dengannya, bukan dengan seseorang yang pernah kau harapkan itu.
Sekarang dia menjadi orang yang paling ingin kau tanya kabarnya bahkan ketika kau sangat sibuk. Lalu, tak jadi menanyakannya karena tahu di sana dia sedang sama sibuknya. Dia seseorang yang bisa membuatmu tersenyum (meski sedikit) di saat kau sedang sangat sedihnya. Kesal dan tertawa di saat yang bersamaan. Senang di saat kau berhasil membuatnya kesal dan merajuk. Lalu, sedih lagi di saat dia benar-benar kesal dan tak peduli denganmu. Kemudian, kau mengalah dan hanya bisa berkata, "Jadi, maunya seperti apa?"
Dia orang yang sepenting itu bagimu. Tapi, tetap tak bisa kau jawab ketika dia mulai bertanya, "Bagaimana saya di matamu?" Yang malah kau jawab dengan, "Kau cukup jujur untuk berani mengungkapkan dirimu yang terdahulu." Ya, dia cukup jujur. Dan tak ada yang bisa menjamin kau akan bertemu orang lebih baik darinya, tapi bisa sejujur itu denganmu.
Terakhir, dia mengucapkan terima kasih. Entah untuk apa. Mungkin sama dengan terima kasih yang disampaikannya ketika pertama kali kau mempercayakan dia menghubungimu. Tapi, entah kenapa ucapan terima kasih terdengar seperti ucapan perpisahan. Sama seperti, "Selamat tinggal, waktu yang kita lalui cukup berharga, tapi saya tak bisa bertahan lebih lama lagi denganmu."
Komentar
Posting Komentar