Langsung ke konten utama

Menanti Pembuktian

Tentang hari ini, mungkin kau sama sepertiku. Menantinya dengan tidak sabar. Terus memikirkannya. Tapi, mungkin juga tidak. Mungkin kau malah menganggapnya biasa saja. Seperti yang lain. Memperlakukanku sama sedang aku terus menganggapnya istimewa.

Tentang janjimu kemarin tentang sesuatu di hari ini. Mungkin kita sama. Aku gelisah karena penasaran akan janjimu. Dan kau penasaran melihat ekspresiku saat melihat sesuatu yang hendak kau berikan. Atau, mungkin... kau malah gelisah terbebani karena harus menepati janjimu?

Aku tak melihat kesungguhan saat kau berjanji. Tapi, terus kau ulangi sampai aku terus mengingatnya. Lalu, bagaimana bisa aku tidak terus memikirkannya? Kau membuatku terlihat seperti anak kecil dijanjikan coklat kesukaannya. Terus menantikannya dengan penuh kesungguhan. Bedanya, tak akan kuperlihatkan betapa gelisahnya aku menantikan pemberianmu nanti itu.

Kenapa masih kuterus berharap? Bukan tentang pemberianmu itu, sebenarnya. Tapi, tentang penegasan sikapmu yang sudah membuatku merasa bersalah pada sahabatku yang sepertinya menyukaimu. Kenapa aku ikut menyukaimu? Anehnya, kau memperlakukan kami sama. Seolah bingung memilih yang mana. Parahnya, terlalu lama kau memutuskan pilihanmu dan membuatku sesak setiap hari. Sesak karena kesulitan menyembunyikan rasaku. Sesak menanti hari nanti saat bukti nyata itu tiba. Harus bagaimana aku kepada sahabatku itu?

Aku masih mengharapkan pembuktian. Bahkan di 9 Januari yang sudah semakin jauh dari 5 Januariku. Kenapa masih aku menunggu sesuatu yang berbeda? Sesuatu yang menunjukkan kalau aku lebih istimewa daripada mereka. Atau... sesuatu yang membuktikan ada orang lain yang lebih istimewa daripadaku.

*Ditulis di tengah kebiasaan tengah malam. 
Melepas sim card dan memory card dari handphone. 
Memasang ke modem dan berselancar ria di kemayaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aktivitas di Luar Kebiasaan

 Halo, saya Rizka. Seorang istri dan ibu dari sepasang putra dan putri yang lagi lucu-lucunya. Dua anak cukup? Biasanya, keseharian saya hanyalah mengurus rumah tangga. Seperti ibu muda biasanya. Yang kemudian selama lebih dari setahun belakangan, mencoba beraktivitas di luar kebiasaan. Ini tak mudah, meskipun sekarang lebih mudah rasanya. Kenapa? Ada dua kenapa dan kenapa.  Kenapa saya masih menginginkan aktivitas lain di luar kebiasaan menjadi ibu rumah tangga? Saya mungkin masih bisa leyeh-leyeh di rumah. Menikmati empuknya pembaringan serta hembusan angin dari kipas angin listrik di sudut kamar, atas nama istirahat sejenak. Dari kesibukan memenuhi kebutuhan suami dan anak-anak saya. Tapi, seorang yang sangat bisa menikmati waktu santai dengan begitu seriusnya, juga sangat bisa bosan. Jadi, intinya adalah kebosanan itu sendiri. Yang bahkan semua cara untuk membunuh rasa bosan ini, sudah jadi aktivitas yang membosankan.  Bukan saya tak mencintai suami dan anak-anakku t...

Kehilangan, Sebuah Fase Hidup

Kehilangan adalah bagian akhir dari proses memiliki sesuatu. Atau, melepas sesuatu yang pernah kau sebut punyamu. Punyaku. Punya kita. Setidaknya, kehilangan ini hadir dalam bentuk perasaan. Seperti kutipan lirik lagu yang Letto punya, "Rasa kehilangan hanya akan ada, jika kau pernah merasa memilikinya." Kehilangan bisa berarti berakhirnya kehidupan yang pernah kita bangun bersama. Atau juga, berarti memulai kehidupan yang baru, dengan orang-orang lainnya.  Saya pernah kehilangan. Sering. Dan seringnya tak punya nyali untuk meminta kembali apa yang pernah saya miliki itu kembali. Nyali atau sekedar gengsi? Bagi saya, meninggalkanku berarti kau kehilanganku. Tak ada jalan kembali. Rasaku tak akan pernah sama ketika kau kembali memilihku. Karena saya tak akan terima kau memilihku setelah pernah meninggalkanku ketika saya memilihmu dulu. Mengerti? Saya pun tak mengerti kenapa bisa jadi seperti itu. Sekarang, saya tak sedang bercerita tentang kau dan kau yang ternyata kem...

Perempuan Tangguh

Pernah saya dan beberapa teman mendapat julukan ini. bersama tiga teman seangkatan di kampus dan dua kakak di sana. Agak beresiko memang, dengan kata-kata itu. Karena sesungguhnya kami (sepertinya) hanyalah mencoba terlihat tangguh. Kami juga bukan superhero yang harus membantu kaum yang lemah. Apalah kami yang membantu diri sendiri saja sudah sulit. Atau itu hanya perasaanku saja. Pada akhirnya mereka jadi tangguh dengan cara mereka sendiri. Semoga aku pun sama. Update 2019... Tak semua dari mereka masih dekat denganku sekarang ini. Secara komunikasi, hanya dua dari mereka. Secara fisik, tak satu pun dari mereka dengan mudah kutemui saar ini. Apa jadinya kami kalau bertemu lagi? Mungkin akan mudah meski hanya bertanya kabar terkini tentang keadaan kami masing-masing. Agak merindukan mereka... Merindukan rasa tangguh seolah kami benar-benar tangguh Karena sesungguhnya saya hanya sedang rapuh saat ini Mungkin sedikit atmosfer di antara mereka bisa menularkan ketangguhan ...