Langsung ke konten utama

Tentang 'Shalat' pada Hafalan Delisa

*Mohon maaf sebelumnya sempat mogok menulis beberapa bulan. Semoga dimaafkan :)

Hafalan Shalat Delisa

Ya, itu judul sebuah buku best seller. Berlatar Tsunami Aceh 26 Desember 2004 lalu. Buku yang juga difilmkan dan ditayangkan sejak 22 Desember 2011 kemarin. Saya mendapat cetakan ke-XI-nya. Janji hadiah ulang tahun dari seorang sahabat. Tertunda 2 kali ulang tahun, memang. Tapi, tak apa. Hadiahnya justru datang di saat saya tak berharap diberi apa-apa lagi. Itu yang membuatnya lebih dari sekedar kejutan. :')Hadiah yang bahkan datang nyaris di kali ketiga ulang tahun yang dijanjikan. Seperti judulnya, buku ini bercerita tentang hafalan shalat seseorang. Seseorang yang belajar shalat di waktu yang tepat, saat ia masih kecil. Tak seperti kenyataannya sekarang pada banyak orang, atau sebut saja saya sendiri.

Saya juga lupa kapan pertama kali bacaan shalat saya sempurna hafal. Saat kelas 6 SD saja, kepala sekolahku masih sempat menanyakan, "Kenapa belum shalat?"
Kujawab saja, "Belum hafal, Bu."
Ditanya lagi, "Kenapa belum hafal? Belajar, Nak!" ada tambahan nasehat rupanya.
Lalu, saya termenung sendiri. Mulai berpikir belajar shalat.

Oh, iya... Di kalangan keluargaku memang saya tak dipaksa shalat. Saya diajarkan untuk bisa memutuskan sendiri. Belajar kalau memang sudah mau. Supaya ikhlas tanpa merasa terpaksa. Tapi, bukan berarti saya tidak diingatkan kalau dengan shalat kita bisa dapat pahala. Menabung untuk bisa ke surga. Kalau tidak shalat, berdosa dan akan menuju neraka.

Seingat saya, SMP kelas 1 saya sudah mulai shalat di mushallah sekolah. Tapi, itupun kalau ada yang mengajak. Sekalian melepas penat dari kelas yang menggerahkan. Ya, saya sekolah siang saat itu. Yang mengajak saya ini, seorang teman berjilbab besar (sekarang sudah bercadar dan saya masih bisa mengenalinya dari tatapan matanya). Shalat saya masih sering absen saat itu (sekarang pun masih -_-). Tapi, saya masih terus mencoba. Belajar. Berproses. "Agama Islam adalah sebuah proses dan kita harus terus belajar dalam proses itu."
*Lupa baca dimana

Seperti Delisa, saya ingin terus belajar. Menghafal dengan baik. Memahaminya. Mengerjakannya dengan ikhlas. Khusyu. Saya bahkan terobsesi untuk benar-benar khusyu. Hanya ada saya dan Dia. Rasanya benar-benar tenang seperti itu. Meski belum khusyu benar, setidaknya keinginan itu sudah ada. :)
6.02am 241211

*posting via email, lewat benda kecil di tangan. Sambil berbaring. Bersiap beristirahat dengan tenang (hampir saja ditulis : beristirahat dalam damai. Hehe)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Apa Mimpimu?"

Banyak yang bertanya, "Apa masalahmu sampai lama begini kelar kuliahnya?" Yakin mau tahu? Karena jujur saja, saya sendiri tak banyak berpikir soal itu. Atau lebih tepatnya, saya tak banyak berpikir lagi selama tiga tahun belakangan. Kalau hidup ini bagaikan aliran sungai yang bermuara entah kemana, maka saya sudah hanyut di dalamnya. Tanpa sedikitpun usaha untuk memilih hendak bersinggah kemana. Saya punya seorang teman, yang sebenarnya bisa disebut motivator dan memahami psikologi seseorang. Satu waktu dia menanyakan satu hal yang kemudian menjerat kami dalam pembicaraan panjang dan dalam. Dari sini saya juga tersadar, kau tidak akan teringat kalau kau sudah melupakan sesuatu kalau tak ada yang menanyakannya. "Apa mimpimu?" Saya sendiri tak lagi mengandalkan mimpi untuk membuat hidupku bertahan. Sebut saja dia sudah hancur. Saya tak punya tujuan, dan ini serius. Saya pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Lalu dia menghilang dengan sendirinya. Saya juga ta

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Bahagianya adalah Bahagiamu??

I would rather hurt myself than to ever make you cry... potongan lirik Air Supply (Good Bye) yang saya tampilkan di salah satu akun jejaring sosial saya, rupanya menarik perhatian seorang teman. Si teman ini adalah satu dari beberapa teman yang lumayan dekat dengan saya. Saya punya beberapa teman yang hubungan saya dengannya setingkat di atas teman biasa. Disebut sahabat, tidak juga... sebab tak semua masalah bisa saya bagi dengan mereka. Hanya sekedar menjelaskan bahwa kejiwaan saya sedang terusik oleh adanya sebuah masalah. Tidak pernah secara detail menjelaskan masalah pribadi, semisalnya dengan kalimat panjang lebar hingga mereka merasa seolah ikut merasakan apa yang saya alami. Hubungan pertemanan ini, selanjutnya disebut persaudaraan (saya menganggapnya seperti itu), dalam prosesnya terjadi dengan saling memperhatikan satu sama lain. Mulai dari masalah makan, kalau mereka tak melihatmu makan seharian. Atau, menuduhmu tidak tidur seharian hanya karena kau tak bersemangat menjalan