Langsung ke konten utama

Kenapa masih menulis?

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Teman, pernah ada seseorang yang lebih suka dalam diamnya daripada berbicara. 'Katanya' lebih suka menulis daripada berkata langsung dalam bicaranya. Mungkin, karena dia belum menemukan teman yang cocok dalam berbicara, bercerita. Atau, dia belum cukup percaya dengan dirinya sendiri juga dengan teman bicaranya. Dia pasti punya kesulitan tersendiri sampai lebih suka bertahan dalam pikirannya sendiri, daripada membaginya, mencari teman yang bisa membantah atau mengusik apa yang dianggapnya benar.

Ya, dia seegois itu. Sampai sekarang pun tak berubah dengan keras kepala yang sama. Alasan sebenarnya, sesederhana itu. Ada perempuan pendiam, yang tak suka kalau kau bantah. Tak suka dipaksa sepemikiran denganmu. Tak bisa terima kalau pemikirannya tidak diterima olehmu. Itu saja. Lalu, kenapa dikatakannya kalau "Lebih baik dituliskan saja."? Karena dalam tulisannya, kau tak bisa membantahnya sampai habis kau baca tulisan itu. Atau, bisa jadi malah kau yang sepemikiran dengannya, setelah mengerti apa yang dipikirkannya sepanjang tulisan itu.

Bertahun kemudian, dia berhenti menulis. Mulai dari mengurangi intensitas menulisnya, sampai kebingungan apa yang ingin dituliskannya. Kenapa?

Kenapa?

Kenapa?

Mungkin dia sudah menemukan orang-orang yang tepat untuk jadi teman bicaranya. Lebih tepatnya, tempat mencurahkan isi hati-curhat, untuk berdebat dengannya. Sampai dia perlahan bisa belajar, tak mesti sepemikiran untuk berdampingan bersama teman-temannya. Apalagi yang harus dituliskan? Itu dia. Bingung. Entah apalagi. Ketika dia sudah menemukan tempat untuk berbagi pikiran, tulisan tak lagi jadi andalannya untuk menumpahkan segala hal yang memberatkan isi kepalanya.

Apalagi, beberapa tahun terakhir ini. Ada teman yang sekarang jadi teman hidup, yang siap menampung segala hal yang meresahkannya. Jadi seseorang yang meluruskan saat dia tersesat dalam pemikirannya sendiri. Membahas apa saja dari hal remeh, tertawa garing, sampai yang rumit berair mata. Apalagi yang ingin dituliskan? Pasti ada. Karena tak semua hal akhirnya bisa tuntas dengan didebatkan saja. Terkadang mengasah pemikiran menjadi perlu, untuk jadi ketenangan hati.

Kembali melatih rasa untuk melihat hal dari sisi yang luput diperhatikan.

Mencari kepekaan yang seakan hilang bertahun belakangan.

Mencoba jadi sebaik-baiknya manusia.

°Untuk teman, kalau kau masih mencariku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Untuk Paris dan Jo

Singkat saja kali ini. Aku akan menyusul kalian. Seminar proposal. Segera. Segera, setelah bulat tekadku menghadap ibu PA cantik dan baik hatinya. Serta bapak Ketua Jurusan yang tak kalah baiknya. Ttd., Rizka dan sisa-sisa semangat demi menghabiskan 08 yang tersisa di sisa-sisa akhir kesempatan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi, eh, Sarjana Sosial dari kampus merah.

Aku Kamu Punyaku Punyamu

Rasa minder itu masih ada Ketika melihat mereka punya Apa yang tak saya punya Ketika mereka bisa Apa yang tak saya bisa ... Sedih itu wajar untuk kita sebagai manusia. Biar bisa menghargai apa yang kita punya. Begitu pun dengan penyesalan. Biar kita bisa memilih untuk tak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan. Dan, di sana lah saya sekarang. Separuh sedih, separuh menyesal. Mencari teman bercerita, tapi seperti ada yang salah. Ceritaku tak menarik untuk didengar, mereka mungkin bosan dengan ceritaku, atau saya yang pernah tak memberi kesempatan bercerita ketika mereka butuh. Teman hidup, alhamdulillah saya punya. Tapi, teman dekat sepertinya sedang jauh... AH! Itu yang terjadi ketika gadget yang kau punya, hanya kau jadikan alat pencari informasi orang-orang di sekitarmu. Bukannya malah berkomunikasi dengan mereka. ... Sekian, celotehan awal tahun masehi! ... Pada dasarnya, saya banyak bersyukur Dan memang sudah seharusnya begitu Karena, saya juga punya Yang merek