Langsung ke konten utama

Teman Jauh (Jarak, Waktu, dan Langkah Hidup)

Teruntuk saudari tak sedarahku, yang jauh di negeri orang.

Ini semacam surat yang sangat ingin kusampaikan padamu. Dari sekian banyak hal yang tak lagi kita saling ceritakan. Dari sekian banyak berita yang tak lagi kita saling bagikan. Terpaut jauhnya jarak, juga perbedaan waktu dua-tiga jam (tergantung musim) (lupa kenapa), kesempatan santai kita tak sama. Atau bisa juga karena takut saling mengganggu dengan adanya perbedaan langkah hidup kita hari ini.

Kau tahu, meski sedih kau tak lagi bisa langsung kupeluk untuk beberapa saat ini, saya teramat senang kau jauh di sana. Melakoni apa yang kau kejar selama ini. Meski itu hanya satu dari apa yang kau cita-citakan, berkarir di negeri orang. Meski kecewa dan lelah mendatangimu karena beberapa hal yang tak sesuai inginmu. Saya masih senang kau ada di sana. Merasakan langsung apa yang sangat kau ingini di sana.

Saya tahu, kau lelah dan rindu melepas lelahmu di sini. Di antara kesempatan untuk berkarir tak jauh dari halamanmu, dengan sedikit tantangan, dan karir yang tak seberapa hebat. Dibanding kau yang jauh di sana, penuh tantangan hidup yang sebenar-benarnya hidup, juga hebat karena kau berani memilihnya. Tapi, kau jadi jauh juga rindu dengan kami yang sementara ini tak bertemu denganmu. Kau mungkin tak sabar untuk segera pulang. Tapi, sungguh... sabarlah. Nikmatilah!

Pernah sebelum kau pindah untuk masa dua setengah tahun. Kau bercerita tentang kebimbanganmu tentang ajakan saudaramu yang lain. Menemaninya, hidup bersama. Sementara di kesempatan yang sama, panggilan jauh itu datang. Kau tak enak pada Tuhan, untuk menolak kesempatanmu yang kedua atas kesempatan lain yang pernah kau tinggalkan. Percayalah, saya senang dan memang sudah pilihan yang tepat untukmu berada di posisimu yang sekarang. Karena tak akan enak rasanya untuk terjebak pada pilihan yang hatimu sebenarnya tak rela berada di sana.

Saya mungkin tak banyak tahu tentangmu, meski bertahun berlalu mengenalmu, mengamatimu, memahamimu, bahkan ketika kita hanya duduk berdiam diri sibuk dengan pikiran kita masing-masing. Saya tak ingin mimpimu menciut hanya dengan mempertimbangkan kepentingan selain dirimu. Kau pasti tahu, bisa memilih jalan hidupmu sendiri. Dan harapan saya, kau tak menyesal dengan ini. Meski tak semuanya sesuai inginmu, tapi dengan kerelaan hatimu menjalaninya, yakinlah balasanmu akan setimpal dengan pengalaman yang kau dapatkan nanti. Tentu saja, selalu begitu tentang kau dan orang-orang lainnya yang rela menantang dirinya sendiri, di luar apa yang mungkin pernah kau pikir, tentang dirimu yang tak sanggup menjalaninya. Tapi, kau sanggup, kan? Semoga selalu sanggup menjalaninya hingga akhir. Bertahan dengan berani, seperti apa yang kau jalani selama ini.

Saya lupa menceritakan padamu satu hal. Tentang waktu kau kembali ke kehidupanmu di sini, hanya selama satu bulan. Hmm.. kau banyak berubah. Apalagi tentang kebiasaan dan tingkat kedisiplinanmu, juga pola hidup dan pemikiranmu. Mungkin sebab terpaan rutinitas yang selama ini kau alami. Juga perbedaan atmosphere dan iklim di sekitarmu. Tapi, itu baik. Dan memang seharusnya seperti itu. Tapi, mengertilah... mungkin saja emosimu meninggi menghadapi perbedaan kedisiplinan (dalam waktu, ketertiban, atau kebersihan, misalnya). Tapi, itu sudah terbentuk sangat lama sampai jadi budaya tersendiri di kota kita ini.

Butuh banyak perubahan dan waktu yang mungkin lama untuk memperbaikinya jadi seperti yang seharusnya. Seperti yang kita inginkan, kota yang bersih, lalu lintas tertib dan tak macet, melupakan kebiasaan jam karet di manapun. Saya salah satunya. hehe... Mungkin memang, kau harusnya kembali lagi ke sini setelah selesai urusanmu di sana. Membantu kami jadi seperti yang seharusnya. Mungkin terlalu jauh harapan saya untuk segala yang baik di kota ini terjadi karena sentuhanmu. Hmm.. ubahlah mulai dari kami-kami yang ada di sekitarmu, mungkin? Tapi, kalau kau mau jadi walikota, gubernur, kepala dinas, atau kementrian, untuk mengubah sekitarmu dalam skala yang lebih besar itu tak apa. Sesuai inginmu saja. Karena kau berhak untuk jadi apa pun sesuai mimpimu. Asal tak lupa kewajibanmu saja.

Sekian, dan terima salam rindu dariku untukmu. ♥

**Dan ternyata ini dituliskan menjelang dua tahun keberadaanmu di sana, pada 20 November besok. Selamat! Kau menjalaninya juga. Dan yakinlah berhasil menyelesaikannya nanti!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Apa Mimpimu?"

Banyak yang bertanya, "Apa masalahmu sampai lama begini kelar kuliahnya?" Yakin mau tahu? Karena jujur saja, saya sendiri tak banyak berpikir soal itu. Atau lebih tepatnya, saya tak banyak berpikir lagi selama tiga tahun belakangan. Kalau hidup ini bagaikan aliran sungai yang bermuara entah kemana, maka saya sudah hanyut di dalamnya. Tanpa sedikitpun usaha untuk memilih hendak bersinggah kemana. Saya punya seorang teman, yang sebenarnya bisa disebut motivator dan memahami psikologi seseorang. Satu waktu dia menanyakan satu hal yang kemudian menjerat kami dalam pembicaraan panjang dan dalam. Dari sini saya juga tersadar, kau tidak akan teringat kalau kau sudah melupakan sesuatu kalau tak ada yang menanyakannya. "Apa mimpimu?" Saya sendiri tak lagi mengandalkan mimpi untuk membuat hidupku bertahan. Sebut saja dia sudah hancur. Saya tak punya tujuan, dan ini serius. Saya pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Lalu dia menghilang dengan sendirinya. Saya juga ta

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Bahagianya adalah Bahagiamu??

I would rather hurt myself than to ever make you cry... potongan lirik Air Supply (Good Bye) yang saya tampilkan di salah satu akun jejaring sosial saya, rupanya menarik perhatian seorang teman. Si teman ini adalah satu dari beberapa teman yang lumayan dekat dengan saya. Saya punya beberapa teman yang hubungan saya dengannya setingkat di atas teman biasa. Disebut sahabat, tidak juga... sebab tak semua masalah bisa saya bagi dengan mereka. Hanya sekedar menjelaskan bahwa kejiwaan saya sedang terusik oleh adanya sebuah masalah. Tidak pernah secara detail menjelaskan masalah pribadi, semisalnya dengan kalimat panjang lebar hingga mereka merasa seolah ikut merasakan apa yang saya alami. Hubungan pertemanan ini, selanjutnya disebut persaudaraan (saya menganggapnya seperti itu), dalam prosesnya terjadi dengan saling memperhatikan satu sama lain. Mulai dari masalah makan, kalau mereka tak melihatmu makan seharian. Atau, menuduhmu tidak tidur seharian hanya karena kau tak bersemangat menjalan