Langsung ke konten utama

Seseorang yang Saya Sebut Motivator Pribadi

Saya percaya satu mitos yang saya buat sendiri. Cerita saya dengan seseorang, takkan berhasil ketika saya coba menuliskannya.
Hanya karena itu, saya tak banyak menuliskan tentang dia, motivator pribadi saya. Bukan karena tak percaya kalau dia akan terus ada bersamaku. Hanya saja, rasa takut kehilangan dia begitu besar. Sampai logikaku tak bisa bekerja dengan baik. Bahwa mitos itu harusnya hanya jadi sekedar mitos. Jadi, mari membuktikannya. Lagipula, kalau kelak dia tak jadi denganku, itu takdir dan bukan karena pengaruh mitos ini kan?
Lalu, mulai dari mana saya menuliskannya? Rasanya dia terlalu nyata. Sampai lebih baik saya berbicara dengannya saja untuk memberitahu apa yang saya rasa. Daripada sekedar menuliskannya. Hmmm... seperti itu lah.
Namanya Abdul Rahim. Lelaki yang saya sebut dengan, hmmm... tebak saja sendiri. *blushing* Ya, ini pertama kalinya saya merasakan bahagia macam ini. Abang ini lelaki pertama yang menemani saya dan disebut pacar. Meski lidah bahkan jariku masih kelu ketika menyebutnya seperti itu.
Hal ini terlalu baru. Bahkan tak pernah termasuk dalam kamus hidup saya. Sampai suatu ketika di satu titik, saya merasa akan membutuhkan seseorang untuk terus ada denganku. Seseorang yang Insyaa Allah akan jadi teman hidupku kelak. Berjalan bersama, berjodoh sampai Allah memisahkan kami dengan cara entah apa. Di saat yang bersamaan, kami dipertemukan Allah dengan cara-Nya sendiri.
Bermula dari pertemuan singkat di bulan September 2013 lalu. Terlalu singkat sampai saya hanya mengingatnya sebatas lelaki bertopi di suatu tempat. Tanpa sempat mengingat wajah atau tahu namanya. Lalu, dipertemukan lagi pada April 2014. Di lingkungan kerja yang juga singkat. Dengan panggilan 'Pak Rahim' dan 'Bu Rizka'. Seperti itu kami kenal tanpa sempat berjabat tangan. Sampai hari ini, alhamdulillah kami masih berusaha untuk terus saling mengenal.
Apa yang bisa kuceritakan tentangnya?
Kak Rahim mungkin punya sejuta cara untuk membuat saya nyaman dengannya. Tanpa pernah menuntut apapun. Lelaki yang minim kesamaannya denganku. Tapi, bersama tak harus sama, itu kata iklan rokok. Dan, memang benar. Ketidaksamaan selera kami tidak pernah jadi alasan untuk didebat. Meski perdebatan tak pernah absen setiap kali kami bertemu. Tertawa, berdebat, saling membujuk, putus asa, sampai tertawa lagi.
Saya bersyukur dipertemukan Allah dengannya di waktu sekarang ini. Di waktu yang memang tepat dan semoga langkah apapun ke depannya selalu tepat untuk kami. Seseorang yang dengan bersamanya, kami saling memperbaiki diri. Sembari berharap, lelaki pertama yang bersamaku ini, juga jadi satu-satunya, dan jadi lelaki terakhir yang berjodoh denganku. Amiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Apa Mimpimu?"

Banyak yang bertanya, "Apa masalahmu sampai lama begini kelar kuliahnya?" Yakin mau tahu? Karena jujur saja, saya sendiri tak banyak berpikir soal itu. Atau lebih tepatnya, saya tak banyak berpikir lagi selama tiga tahun belakangan. Kalau hidup ini bagaikan aliran sungai yang bermuara entah kemana, maka saya sudah hanyut di dalamnya. Tanpa sedikitpun usaha untuk memilih hendak bersinggah kemana. Saya punya seorang teman, yang sebenarnya bisa disebut motivator dan memahami psikologi seseorang. Satu waktu dia menanyakan satu hal yang kemudian menjerat kami dalam pembicaraan panjang dan dalam. Dari sini saya juga tersadar, kau tidak akan teringat kalau kau sudah melupakan sesuatu kalau tak ada yang menanyakannya. "Apa mimpimu?" Saya sendiri tak lagi mengandalkan mimpi untuk membuat hidupku bertahan. Sebut saja dia sudah hancur. Saya tak punya tujuan, dan ini serius. Saya pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Lalu dia menghilang dengan sendirinya. Saya juga ta

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Bahagianya adalah Bahagiamu??

I would rather hurt myself than to ever make you cry... potongan lirik Air Supply (Good Bye) yang saya tampilkan di salah satu akun jejaring sosial saya, rupanya menarik perhatian seorang teman. Si teman ini adalah satu dari beberapa teman yang lumayan dekat dengan saya. Saya punya beberapa teman yang hubungan saya dengannya setingkat di atas teman biasa. Disebut sahabat, tidak juga... sebab tak semua masalah bisa saya bagi dengan mereka. Hanya sekedar menjelaskan bahwa kejiwaan saya sedang terusik oleh adanya sebuah masalah. Tidak pernah secara detail menjelaskan masalah pribadi, semisalnya dengan kalimat panjang lebar hingga mereka merasa seolah ikut merasakan apa yang saya alami. Hubungan pertemanan ini, selanjutnya disebut persaudaraan (saya menganggapnya seperti itu), dalam prosesnya terjadi dengan saling memperhatikan satu sama lain. Mulai dari masalah makan, kalau mereka tak melihatmu makan seharian. Atau, menuduhmu tidak tidur seharian hanya karena kau tak bersemangat menjalan