Langsung ke konten utama

Ketika Saya Berencana Fokus

Kadang sesuatu terjadi tanpa direncanakan. Menurutku seperti itulah hidup. Yang terjadi, biasanya tak sama dengan yang kita rencanakan. Karena hidup kita sendiri, bahkan bukan kita yang memiliki. Pemiliknya, Sang Pencipta kita. Semua yang terjadi tentu atas kehendak-Nya. Kadang seperti yang kita mau, kalau memang itu yang terbaik. Lebih sering lagi, berbeda dengan yang kita mau. Karena kita sendiri bahkan tak tahu pasti mana yang memang terbaik untuk diri kita.

Dua bulan terakhir, waktu yang tersulit bagi saya untuk bisa berkonsentrasi mengerjakan tugas akhir. Ya, anggap saja ini sekedar alasan sepele yang saya punya. Sekuat tenaga harus bisa mengalihkan pikiran dari... ehmmm... hal yang harusnya tak begitu penting (sekarang ini).

Ada hati yang harus direkatkan kembali setelah sedikit patah karena kekecewaan kemarin. Ada harapan yang harus benar-benar dihentikan karena tak ada jalan bagi harapan itu bertumbuh lagi. Ada harapan baru yang mesti ditumbuhkan agar warna-warni bunganya bisa menghiasi hari kembali. Ada target lain yang harus dikejar biar hidup bisa berjalan ke tahap yang lebih baik lagi.

Ada satu malam yang harus saya habiskan hanya untuk memikirkan apa yang saya alami. Selebihnya untuk menguatkan diri agar tetap fokus dengan tujuan saya dalam waktu dekat ini. Tugas akhir yang entah kenapa masih sangat enggan diselesaikan. Sampai akhirnya saya bisa berjanji untuk benar-benar fokus dan tidak lagi memikirkan hal lain. Saya mulai tidur dengan tenang setelahnya. Dengan setumpuk agenda di hari-hari ke depan untuk melancarkan pencapaian target.

Tapi, rencana selalunya sekedar rencana. Sekitar jam 3 pagi saya terbangun dari tidur tanpa sengaja. Kemudian melirik layar ponsel sekilas hanya untuk melihat penunjuk waktu. Apa yang saya temukan kemudian? Ada dua telepon tidak terjawab. Juga satu pesan di aplikasi whatsapp. Semua dari satu nomor yang sama. Seseorang yang beberapa jam sebelumnya sudah berhenti saya harapkan datang lagi.

Sang Penulis Skenario Kehidupan bahkan tak membiarkan saya jauh dari orang yang satu itu. Ketika benar-benar berhenti berharap, dia datang lagi. Padahal, saya tak mau percaya ketika seorang teman pernah berkata, "Seseorang yang coba kau lupakan akan datang lagi ketika kau benar-benar melupakannya."

Tentu saja saya goyah setelahnya. Bagaimana mungkin hati tak senang, ketika seseorang yang pernah kau tunggu, memilih datang kembali. Dia datang beserta pesan, meminta diundang sebagai teman dalam aplikasi BBM. Tak mengindahkan pesannya, berarti benar-benar memutuskan komunikasi dengannya. Sedang memutuskan untuk kembali berkomunikasi, bisa jadi membuat hidup jadi lain ceritanya lagi.  

Godaan untuk berkomunikasi dengannya lagi, membuat saya sulit tertidur sampai sehabis subuh. Tapi, ada banyak pikiran lain yang akhirnya menunda saya memutuskan sesuatu apapun. Salah satunya, telepon yang tak terjawab itu ada tepat dua menit sebelum saya terbangun dari tidur. Sesuatu yang mungkin berarti saya tak dibiarkan dulu untuk langsung berbicara dengannya saat itu.

Saya menunda melakukan apa pun dan memilih untuk kembali banyak berpikir. Yang saya tahu, ada harapan yang kembali tumbuh untuk bersamanya lagi. Tapi, bagaimana jadinya dengan rencana pencapaian target hidup yang lain?

Komentar

  1. Such a nice post very informative information thanks for sharing.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Apa Mimpimu?"

Banyak yang bertanya, "Apa masalahmu sampai lama begini kelar kuliahnya?" Yakin mau tahu? Karena jujur saja, saya sendiri tak banyak berpikir soal itu. Atau lebih tepatnya, saya tak banyak berpikir lagi selama tiga tahun belakangan. Kalau hidup ini bagaikan aliran sungai yang bermuara entah kemana, maka saya sudah hanyut di dalamnya. Tanpa sedikitpun usaha untuk memilih hendak bersinggah kemana. Saya punya seorang teman, yang sebenarnya bisa disebut motivator dan memahami psikologi seseorang. Satu waktu dia menanyakan satu hal yang kemudian menjerat kami dalam pembicaraan panjang dan dalam. Dari sini saya juga tersadar, kau tidak akan teringat kalau kau sudah melupakan sesuatu kalau tak ada yang menanyakannya. "Apa mimpimu?" Saya sendiri tak lagi mengandalkan mimpi untuk membuat hidupku bertahan. Sebut saja dia sudah hancur. Saya tak punya tujuan, dan ini serius. Saya pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Lalu dia menghilang dengan sendirinya. Saya juga ta

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Bahagianya adalah Bahagiamu??

I would rather hurt myself than to ever make you cry... potongan lirik Air Supply (Good Bye) yang saya tampilkan di salah satu akun jejaring sosial saya, rupanya menarik perhatian seorang teman. Si teman ini adalah satu dari beberapa teman yang lumayan dekat dengan saya. Saya punya beberapa teman yang hubungan saya dengannya setingkat di atas teman biasa. Disebut sahabat, tidak juga... sebab tak semua masalah bisa saya bagi dengan mereka. Hanya sekedar menjelaskan bahwa kejiwaan saya sedang terusik oleh adanya sebuah masalah. Tidak pernah secara detail menjelaskan masalah pribadi, semisalnya dengan kalimat panjang lebar hingga mereka merasa seolah ikut merasakan apa yang saya alami. Hubungan pertemanan ini, selanjutnya disebut persaudaraan (saya menganggapnya seperti itu), dalam prosesnya terjadi dengan saling memperhatikan satu sama lain. Mulai dari masalah makan, kalau mereka tak melihatmu makan seharian. Atau, menuduhmu tidak tidur seharian hanya karena kau tak bersemangat menjalan