Langsung ke konten utama

Confession #3

Ada seorang perempuan yang mungkin sering membuatmu kesal. Kesal karena sifat keras kepalanya. Sampai kau merasa dia tak pernah membutuhkanmu.

Dia yang selalu bisa membuka sendiri botol minumannya. Kalau pun sulit, dia tak akan meminta bantuanmu sampai dia bisa membukanya. Dia yang akan menolak tawaranmu untuk membantu memarkir sepeda motornya. Kalau pun sulit, dia masih juga menolaknya sampai dia selesai melakukannya. Dia yang masih segan kau bayarkan makan dan minumnya. Sampai kau mungkin merasa dia benar-benar tak membutuhkanmu.

Semua hanya karena dia terbiasa melakukan semuanya sendiri. Sama sekali bukan untuk menolak bantuanmu. Apalagi menjatuhkan harga dirimu sebagai lelaki. Dia masih tak terbiasa dengan kehadiranmu. Belum terbiasa membagi bebannya denganmu. Juga karena tak pernah membiarkan dirinya tergantung dengan kehadiran orang lain.

Tapi, salahkah kalau harus terus bersikap seperti biasanya? Seolah terlalu kuat dan sama sekali tak membutuhkanmu. Ataukah harus berpura-pura lemah biar kau senang? Biar kau merasa dibutuhkan. Biar dia tergantung dengan kehadiranmu.

Dia tetap terlihat seperti tak membutuhkanmu.
Padahal, kau tak tahu saja kalau kehadiranmu seperti melengkapinya.
Dan kehilanganmu, seperti kehilangan separuh dirinya.

Dia tetap membutuhkanmu entah untuk apa.
Dia tetap suka berbicara denganmu entah untuk membicarakan apa.
Dia tetap nyaman berdekatan denganmu entah karena apa.

Kemudian kau memilih meninggalkannya. Mungkin karena tak tahan dengan sikapnya. Mungkin juga karena tak pernah benar-benar nyaman dengannya. Masih berpikir dia tak membutuhkanmu? Benar. Karena tanpanya kau tak apa. Dan, ternyata tanpamu dia baik-baik saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Apa Mimpimu?"

Banyak yang bertanya, "Apa masalahmu sampai lama begini kelar kuliahnya?" Yakin mau tahu? Karena jujur saja, saya sendiri tak banyak berpikir soal itu. Atau lebih tepatnya, saya tak banyak berpikir lagi selama tiga tahun belakangan. Kalau hidup ini bagaikan aliran sungai yang bermuara entah kemana, maka saya sudah hanyut di dalamnya. Tanpa sedikitpun usaha untuk memilih hendak bersinggah kemana. Saya punya seorang teman, yang sebenarnya bisa disebut motivator dan memahami psikologi seseorang. Satu waktu dia menanyakan satu hal yang kemudian menjerat kami dalam pembicaraan panjang dan dalam. Dari sini saya juga tersadar, kau tidak akan teringat kalau kau sudah melupakan sesuatu kalau tak ada yang menanyakannya. "Apa mimpimu?" Saya sendiri tak lagi mengandalkan mimpi untuk membuat hidupku bertahan. Sebut saja dia sudah hancur. Saya tak punya tujuan, dan ini serius. Saya pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Lalu dia menghilang dengan sendirinya. Saya juga ta

Rumahku Indonesia VS Darurat Covid-19

Ada yang tak biasa tentang keadaan sekarang ini. Negeriku Indonesia bersama dunia sedang berjuang melawan virus corona atau Covid-19 sejak akhir tahun 2019 lalu. Indonesia sendiri baru diliputi kepanikan tentangnya di awal Maret 2020. Ketika bapak Jokowi, presiden kita, mengumumkan dua orang di antara kita sudah terdampak virus ini.  Hari ini, menjelang akhir Maret 2020. Saya pribadi mendadak diserang sakit kepala teramat sangat. Setelah sore harinya  WA pribadi dan grup saya geger dikarenakan Prof. Idrus Paturusi, Rektor Kampus UNHAS pada masanya, termasuk dalam 13 orang positif Covid-19 di SulSel per 25 Maret 2020 ini. Seseorang seperti beliau pun sudah terdampak. Bersama 12 orang lainnya, yang bisa saja adalah mereka yang ditemui di keseharian kita. Semoga mereka lekas pulih, dan badai virus ini segera berlalu. Saya mengkhawatirkan banyak hal. Terutama, keluarga dan kerabat, pastinya. Yang mana, setelah menikah dan hidup dengan keluarga kecilku sendiri, saya tak lagi serumah

Bahagianya adalah Bahagiamu??

I would rather hurt myself than to ever make you cry... potongan lirik Air Supply (Good Bye) yang saya tampilkan di salah satu akun jejaring sosial saya, rupanya menarik perhatian seorang teman. Si teman ini adalah satu dari beberapa teman yang lumayan dekat dengan saya. Saya punya beberapa teman yang hubungan saya dengannya setingkat di atas teman biasa. Disebut sahabat, tidak juga... sebab tak semua masalah bisa saya bagi dengan mereka. Hanya sekedar menjelaskan bahwa kejiwaan saya sedang terusik oleh adanya sebuah masalah. Tidak pernah secara detail menjelaskan masalah pribadi, semisalnya dengan kalimat panjang lebar hingga mereka merasa seolah ikut merasakan apa yang saya alami. Hubungan pertemanan ini, selanjutnya disebut persaudaraan (saya menganggapnya seperti itu), dalam prosesnya terjadi dengan saling memperhatikan satu sama lain. Mulai dari masalah makan, kalau mereka tak melihatmu makan seharian. Atau, menuduhmu tidak tidur seharian hanya karena kau tak bersemangat menjalan